Jatuh

4.7K 279 8
                                    

Tifa berjalan keluar rumah, dia melihat Imran yang sedang memegang ayahnya membuat dadanya bergetar dan segera melempar buku yang biasa dia bawa, buku itu berharga tapi tak sebanding dengan keberadaan ayahnya.

"Ada apa dengan Ayah?" tanya Tifa membantu sang ayah masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah.

"Ayah tidak papa, kamu tak perlu khawatir."

Tifa masih dia lalu menoleh ke arah Imran yang sedang melepas sendal dan kaos kaki yang dikenakan oleh ayahnya, dalam hati ia seolah sedang berada pada masa lalu di mana sebuah kisah hampir serupa.

"Ayah," panggil Tifa dengan nada merajuk.

"Di sini masih ada Imran, kamu tidak malu."

Tifa mengerucutkan bibirnya lalu berjalan menuju dapur dan mengambil minum untuk dua orang yang cukup berarti dalam hidupnya. Setelah menyajikan minum dia melirik ke arah Imran yang hanya menunduk tanpa ada sedikit saja ingin menatap.

"Ayah kenapa, Om?" tanya Tifa lalu duduk dan memegang lengan kiri sang ayah, menyadarkan bahu dengan manja.

"Gula darahnya menurun, Beliau kelelahan."

"Tifa bilang Ayah harus mengurangi jadwal biar asupan gizi terjaga." Tifa dan segala macam petuahnya.

"Ayah sehat, ingat Allah sesuai dengan prasangka hamba."

Tifa cemberut lalu menoleh kepada Imran, "diminum Om."

"Iya."

---

Menjatuhkan pilihan kepadamu
Bukanlah harapanku
Terlebih dengan sikapmu
Semakin memupuskan mimpiku
Menginjak kekokohan pendirian ku
Dan membuat layu bunga-bunga hatiku

Imran menutup buku itu lalu meletakkan di meja, ia menghela napas lalu kembali mengambilnya dan tanpa sengaja ia melihat tulisan terakhir dari Tifa.

Aku jatuh
Biarkan saja
Anggap kau tak mengetahuinya

Aku jatuh
Diamkan saja
Anggap kau tak mendengarnya

Aku jatuh
Abaikan saja
Anggap kau tak melihatnya

Karena jatuh adalah pilihan hatiku
Jadi, biarkan aku yang menanggungnya
Merasakan setiap goresan yang tersisa
Merenungkan segenap tindakan yang ada.

Ditutup buku itu lalu dia mengucapkan salam dan masuk kala sang kakak sudah menjawab.

"Kamu kembali?" tanya Zaid, ayah Tifa.

"Buku Tifa dijatuhkan di depan tadi."

"Oh sebentar," kata Zaid seraya menekan ponselnya dan mengirim pesan kepada anaknya yang ada di dalam kamar.

"Tifa," panggil Zaid kala pesannya belum dibaca.

"Iya Yah," terdengar suara Tifa yang menjawab sambil berjalan.

"Ada apa?"

Zaid menoleh ke arah Imran dan Tifa menyadari buku yang dibawa oleh adik ayahnya itu.

"Maaf, saya tadi membaca."

"Tidak papa, bukan rahasia. Jazakallahu khoir, Om."

"wa Jazakillahu Khoiron."

Imran lalu berpaling ke arah Zaid kemudian ia kembali berpamitan dan berjalan keluar.

Mungkin senja akan segera menyapa dengan warna mega yang mulai menampakkan warnanya tapi semua itu tak menjadi halangan bagi Imran untuk terus berjalan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Afkar membuat Imran menghentikan langkahnya.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Imran mengulurkan tangannya dan disambut ramah oleh Afkar.

"Mau kemana Om?"

"Ke masjid. Saya duluan."

Afkar mengangguk lalu menjawab salam yang diberikan oleh adik ayahnya itu. Dia menatap punggung lebar Imran dengan senyum tipis, kalau boleh jujur dia sangat heran dengan pribadi Imran yang sangat berbeda. Tak bisa dipikir bagaimana lelaki itu bertahan di tengah kemiskinan keluarganya dan yang membuat semakin heran hingga saat ini tak ada usaha sedikit saja untuk bekerja dan memenuhi segala kebutuhan, yang dilakukan hanya berada di mana Zaid -ayah Tifa- berada.

Tahukah engkau
Bahwa harta bukan segalanya
Itu hanya seujung kuku kebutuhan manusia
Karena nyatanya
Allah maha pemberi rejeki, Ar-rozzak.

---

KEDIRI, 22 September 2018

1. Diam Dalam Cinta (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang