Dinamika cintaku datar
Sedatar kesunyian cintaku dalam diam
Menyiram harapan dengan doa di sepertiga malam
Berharap bunga-bunga cinta hadir dalam keridhaan.Tifa kembali menutup buku yang ia buka lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melakukan shalat Dhuha.
Dhuha adalah waktu di mana setelah matahari dinyatakan terbit dan waktu sebelum waktu Dzuhur dinyatakan datang.
Mentari bersinar, bulir-bulir cahaya mewarna dunia. Menjadi sebuah lentera petunjuk dalam kehidupan nyata.
Setelah membaca beberapa bait Al-Qur'an, Tifa memakai kembali hijab besarnya lalu mengambil ponsel dan dompet. Keluar dari singgasana malam dia akan mulai bertebaran di muka bumi untuk mencari rejeki.
"Pagi Ibu," sapa Tifa sambil memeluk sang ibu yang sibuk dengan cucian piring.
"Siang ini Tifa, bukan pagi lagi." Tifa hanya meringis lalu melepas pelukan dan mengambil buku resep yang ada di atas lemari es.
"Kamu mau buat apa?" tanya Ibu Tifa sambil mengeringkan tangannya.
"Donat Bu." Tifa masih sibuk membolak-balikkan buku.
"Nanti kalau sarapan masak sendiri, Ibu tadi hanya buat nasi goreng untuk sarapan Om Imran dan Ayah." Tifa menoleh dengan cepat, sedikit heran karena sudah lama sekali sepertinya Om Imran mau makan bersama di rumah ini.
"Iya, santai saja." Tifa memotret bahan-bahan membuat donat.
"Masak sekalian buat makan siang, Ibu ada undangan hari ini."
"Iya Bu. Ada lagi?" tanya Tifa dengan lembut.
"Kamu tidak bertanya ibu meminta kamu masak apa?"
Tifa segera menoleh, dia seolah lupa dengan hal yang dibicarakan. Dia lalu menoleh ke arah sang ibu yang sedang menatapnya geli.
"Masak apa Bu?"
"Bikin capcay dan dadar jagung. Jangan bikin sambal tomat." Aku mengingatnya lalu mengangguk.
"Bahannya ada di sana. Ibu sudah potong-potong kamu tinggal buat bumbu."
"Siap laksanakan," kata Tifa membuat sang ibu yang melihat menggelengkan kepalanya.
"Oh ya, ada oleh-oleh dari Afkar, ibu taruh di meja tengah."
Radar pendengaran Tifa meningkat, dia segera berjalan menuju ruang tengah di sana sudah ada paper bag berwarna coklat tua.
Tifa menerbitkan senyum tipisnya, lalu dia duduk dan membuka satu diantara tiga paper bag. Dia tersenyum kala mendapatkan tas berbahan rajut berwarna biru navy. Afkar masih mengingatnya, mengingat bahwa ia sangat menyukai warna biru navy.
Tifa dan afkar memang tidak kenal sejak kecil, seperti ia dan Imran yang besar bersama. Tapi keduanya sempat dekat dan berbincang beberapa hal sebelum ultimatum dari sang ayah tentang jarak yang harus dijaga karena kami bukan mahram.
Dari situ, dia mulai tahu bahwa selama ini Imran menjaga jarak dengan dirinya, tak ada sedikitpun kedekatan yang berarti di keduanya. Kalau dipikir menggunakan logika, afkar yang secara garis silsilah lebih dekat saja harus menjaga jarak apa lagi Imran yang merupakan adik sepupu ayahnya.
Tifa membuka tak kertas yang lainnya, dia mengerutkan keningnya heran kala melihat tas yang sama tapi dengan warna dan hiasan yang berbeda.
Kebingungan itu tidak bertahan lama, sebab saat sang ibu keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi semuanya menjadi jelas.
"Itu yang lain buat Nadira dan Azkia."
Setelah mengatakan itu ibu Tifa berpamitan untuk berangkat meninggalkan Tifa dalam kesunyian yang mampu mengubur segala harapan yang pernah tersimpan.
Bila cinta itu memang nyata
Biarkan aku merasakannya meski dalam kebisuan
Bila cinta itu memang akan menyapa
Maka biarkan diriku mempersiapkan diri untuk menyambutnya.---
Kediri, 21 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Diam Dalam Cinta (end)
Spiritual#diamseries Cover cantik dari @venusyura Mencintai itu hakikatnya memberi tanpa pamrih. Menerima segala takdir yang sudah ditentukan oleh-Nya, bukankah Allah sudah menciptakan manusia secara berpasangan. Maka, setiap orang pasti memiliki jodohnya s...