Nadaku

6K 340 7
                                    

Biarlah, segala rasa yang ada kutelan dalam diam yang menyelimuti jalannya hidup ini.
Menulikan telinga dari bisikan manja penuh puji.
Bagiku hal itu tak akan mampu, menggeser dari zona nyaman singgasana nada cintaku.

Diam menjadi pilihan hatiku bersemayam
Tak inginku diusik meski tanpa teriakan
Karena diamku adalah bentuk cinta yang ku tanamkan
Kelak berharap memetik bunga persatuan dalam kebahagiaan.

Tifa menutup buku yang ada di pangkuannya lalu menoleh ke arah Nadira yang mulai menghilang dari pandangan.

Sore yang ceria itu berubah menjadi syahdu. Meninggalkan setitik hitam dalam ingatan tentang kata yang pernah terlontar. Biarlah nada itu tersimpan rapat dalam bait doa cinta dalam diam.

Tifa berjalan menuju rumahnya tak lupa dia melirik ke sebelah kiri di mana ruangan lima petak terdapat lima pintu itu berada. Memandang pintunya saja sudah mampu membangunkan ribuan kupu-kupu yang tertidur nyaman dalam singgasana, apalagi kala berjumpa dan bersua.

Tifa membalikan badan kala terdengar deru mobil berhenti di pekarangan rumah, senyum tak lagi mampu dibendung dan rasa lemas karena bangunnya kupu-kupu seolah menguap tanpa ada bekasnya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, Ayah." Tifa menyambut kedatangan sang ayah dengan ceria dan bergegas mengambil tangan untuk dia jabat. Seolah ia lupa jika di dekat sang ayah masih banyak mata yang bisa memandang dan banyak telinga yang bisa mendengar.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, jangan mendayu." Tifa menunjukan gigi putihnya lalu menunduk malu.

"Hehehe lupa." Tifa mengatakan itu sambil menggandeng tangan sang ayah menuju ke teras. Tapi sebelumnya ia masih dengan sang ayah memberi perintah istirahat kepada teman-teman seperjuangan.

"Ayah masih ada jadwal hari ini?" tanya Tifa sambil menunggu sang ayah yang sedang mencuci kakinya sebelum masuk ke dalam rumah.

"Ada apa?" tanya sang ayah menghampiri anak gadisnya.

"Tidak ada." Tifa memberikan senyum terbaiknya.

"Ayah ada taklim di blok E."

Wajah Tifa berbinar, ada harapan yang bermekaran hingga memancarkan keindahan mata memandang.

"Boleh ikut?" Tifa berkata dengan lembut dan antusias.

"Boleh." Tifa segera beranjak dari duduk ya mendekati sang ayah dan mengecup pipinya, mengabaikan keberadaan di mana tempat ia saat ini berpijak.

"Ingat tempat Nak." Sang ayah menegur dengan lembut dan suara kekehan kecil terdengar merdu.

"Ayo masuk Yah." Tifa menggandeng tangan sang ayah, mengabaikan rasa gemas yang bercokol di tiap hembusan lelaki pujaannya.

---

Mungkin malam terasa lebih gelap, tetapi hanya mata yang mengalaminya, sedangkan hati tak pernah berubah dengan bergulungnya ombak yang mengikis pantai.

Sepi tetap menjadi dominasi diam dalam mengungkapkan cinta, membiarkan kata melebur melalui sajak-sajak tanpa suara. Tifa berjalan di belakang Imran, lelaki yang sejak kecil dia sebut Om. Padahal umurnya hanya berselisih lima tahun. Imran adalah sahabat bagi Tifa kecil, meski semua berubah kala keduanya mulai menginjak dewasa. Imran yang mulai menjaga jarak karena dia lebih dewasa dan lebih mengerti aturan agama dan Tifa yang mulai malu bergaul dengan lawan jenisnya.

Tifa tak menyangka jika sahabat dan juga kerabatnya itu masih betah berada di sekelilingnya meski tanpa suara. Dia menerbitkan senyum kala kakak sepupunya Afkar, memanggil Imran dengan sebutan Om atau kala adiknya yang saat ini masih duduk di bangku SMP melakukan hal yang serupa.

"Sudah sampai, masuklah." Tifa mengikuti perintah Imran dalam diam, dia melewati begitu saja sosok Imran yang berdiri menjulang.

"Jazakumullahu Khoir, Om." Tifa masuk ke dalam lalu segera menuju kamar mandi.

Sesuai dengan janjinya sore tadi, bahwa akan ikut ke acara kajian yang diisi oleh sang ayah. Tifa mengikut dalam diam hingga di akhir acara dia mengirimkan pesan kepada sang ayah bahwa dia ingin buang air besar, karena memiliki kebiasaan yang unik Tifa tak bisa buang air besar di sembarangan tempat, maksudnya kamar mandi yang tidak biasa ia pakai, jadi sang ayah memerintahkan kepada adiknya untuk mengantar Tifa pulang terlebih dahulu.

Tifa langsung mengambil air wudhu dan persiapan untuk tidur, sebab hari sudah malam dan keadaan rumah yang tenang. Ayah dan ibunya mungkin akan pulang dalam waktu satu jam lebih lagi, jadi lebih baik dia segera istirahat.

Tifa masuk ke dalam kamar lalu menutup jendela dan tirai, dia kembali tersenyum kala matanya tertuju pada salah satu bilik di samping rumahnya.

Merangkai nada cinta dalam heningnya malam
Dinamika syahdu tercipta dalam kelam
Biarkan diriku dalam kesendirian
Berdiam dalam cinta yang akan menunjukkan kesucian.

---

Waaaah....
Mengalir kayak air...
Hehehe....

Kediri, 20 September 2018

1. Diam Dalam Cinta (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang