Tanah mulai mengering, kala pancaran sinar sang raja siang berpijar dengan tenaga penuh. Penguapan terasa tak mampu lagi dielakkan, dan kelautan bunga-bunga yang mulai bermekaran tak bisa lagi dihindari.
Afkar kembali menemukan pemandangan yang tak lagi asing baginya, di mana gadis pendiam yang selalu sibuk dengan dunianya. Dan kali ini gadis itu tengah menyatu dengan warna hijau daun yang tumbuh di tamannya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Afkar membuat Tifa sedikit menegang.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Tifa tanpa membalikkan badannya.
"Kamu sedang apa?" tanya Afkar ingin mengajak gadis itu berbincang.
"Menyiram bunga Bang, maaf."
Afkar paham kata terakhir yang diucapkan gadis yang selama ini begitu patuh pada ayahnya. Ia lalu pamit undur diri dan kembali bersemayam dalam kesendirian tanpa terdengar suara apapun lagi.
Tifa segera mencuci tangannya lalu dia mengeringkan dengan mengelap menggunakan kain yang sengaja dia bawa, dengan senyum mengembang Tifa meraih bukunya lalu mulai menggerakkan hingga membuat untaian kata yang berjajar indah.
Aku masih diam
Dilema dalam pilihan
Ingin mengabaikan tapi tak mampu bertahan
Ingin berhenti tapi aku merasa hatiku sudah tertawan
Dilema kini yang kurasakan
Dalam diam membungkam segala getaran
Mengarungi mimpi tanpa batas angan.---
Langit mulai menggelap, menyiksa warna biru navy yang tampak pekat semilir angin berhembus halus menyalurkan rasa dingin yang mulai terasa.
Tiga berdiri di dekat pintu dapur, ia menunggu Imran untuk pulang sebelum menghampiri sang ayah dan membicarakan beberapa hal.
"Kamu kenapa?" tanya sang ibu terlihat heran, sebab anak gadis ya gelisah tak menentu.
"Kok Om Imran gak pulang-pulang." Tifa berjalan menuju kursi di samping sang ibu.
"Masih ada yang perlu dibahas, emangnya kenapa?"
"Tifa kangen dipeluk Ayah."
Mendengar jawaban putrinya membuat wanita bergamis hitam itu hanya menggelengkan kepala saja, tidak habis pikir dengan sikap manja anak gadisnya.
"Kamu punya masalah?" tanya sang ibu, sebab sejak tadi Tifa terasa lebih berbeda.
"Tidak ada." Tifa memberi argumen yang dibutuhkan, bukan tak ingin bercerita tetapi terkadang apa yang kita rasakan cukup kita dan Allah yang tahu, sedangkan yang lainnya cukup melihat diri ini selalu baik-baik saja.
"Ah lama, Tifa ke kamar ya Bu." Tifa mencium pipi kanan sang ibu lalu berlari masuk ke dalam kamar. Tempat di mana segala privasi dia miliki tanpa dan yang mengisi dengan nyata.
Tifa berjalan menuju ke arah jendela, dia berdiri lalu menatap pintu yang tertutup rapat itu untuk kesekian kalinya dalam seharian ini.
Sebuah rasa menyusup di dalam dadanya, menghadirkan debaran yang tidak bisa dicegah hadirnya. Tersenyum kembali dia lakukan untuk mengapresiasi atas segala rasa yang dia pendam.
Jendela itupun ia tarik hingga menghilangkan segala pemandangan yang menggerakkan dada dan mampu menerbitkan senyuman. Bersembunyi, hal itu yang akan selalu ia lakukan. Entah sejak kapan dan kapan waktu akan menghentikan tapi yang pasti diam adakan pilihan.
Tifa kembali mengambil buku yang ada di bawah bantal, dia naik lalu menulis sesuatu untuk menenangkan getaran dalam hatinya.
Malam,
Jika hati ini sudah terlanjur tertawan
Apa yang bisa kulakukan kecuali diam
Membiarkan bunga-bunga malam bermekaran
Meski pada kenyataannya
Saat pagi datang, kelopak bunga itu tak lagi indah dipandang
Biarlah kusimpan semua dalam diam.
Malam, kau satu dari ribuan saksi yang kumiliki.---
Kediri, 22 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Diam Dalam Cinta (end)
Spiritual#diamseries Cover cantik dari @venusyura Mencintai itu hakikatnya memberi tanpa pamrih. Menerima segala takdir yang sudah ditentukan oleh-Nya, bukankah Allah sudah menciptakan manusia secara berpasangan. Maka, setiap orang pasti memiliki jodohnya s...