Biarlah

6.4K 428 8
                                    

Ruang rumahnya tak terlihat gelap tapi juga tidak bisa dibilang terang, mungkin orang sering bilang itu remang. Dengan segala pemikiran yang bergelut di dalam kenangan, ia berjalan menuju ke arah jendela depan, mengintip gadis remaja yang menurutnya cukup pendiam dan tak terduga.

Afkar menerbitkan senyum kala dilihat dua anak manusia yang sedang bercengkrama dengan ramah. Si pendiam bayang mulai bersuara dan si murah senyum yang rajin mendengar setiap suara. Ada desiran halus kala menatap tanpa celah, dia meringis lalu membalikkan badannya.

Afkar kembali beristighfar, memohon ampunan atas khilaf yang dia lakukan. Di taman kecil milik adik ayahnya ada sesosok anak perempuan bernama Tifa dan sahabatnya bernama Nadira.

Afkar kembali duduk di kursi dekat jendela, lalu mengambil ponsel dan mengecek beberapa pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas. Kesendirian mungkin adalah dunianya, kala dia masuk ke ruangan ini. Sebab tak ada satupun yang biasa berkunjung ke dalamnya.

Afkar kadang masih berkunjung ke ruang sampingnya, tempat omnya tinggal. Meski dia memanggil lelaki yang tinggal di sebelahnya om, tapi umurnya satu tahun lebih muda darinya.

Jemarinya menari dengan nada kesunyian, membelai setiap permukaan untuk mendapatkan sebuah kenyataan. Mengusap setiap peluh yang dikeluarkan.

Afkar mulai letih, tanpa terasa bibirnya terasa keluh dan darahnya mulai mendidih. Dengan suara pelan dia mengambil sarung dan baju koko-nya. Tak lama dia keluar dan siap untuk memenuhi panggilan yang merdu. Yaitu Azan tanda waktu shalat telah tiba.

---

Sang senja berubah warna, mengulas gelap memberi tentramnya cahaya. Monokrom menjadi pilihan warna tak perlu cahaya atau sinar cerahnya.

Hitam putih kadang memberikan kejujuran nyata, bukan sekedar keindahan semu tanpa mampu diserap mata. Keindahan sesaat yang mampu menenggelamkan, menerbangkan tinggi lalu menghempaskan, seperti sebuah ilusi.

Afkar menatap pesan yang baru saja masuk dalam ponselnya dengan raut wajah terkejut, tapi di dalam sorot matanya ada harapan yang harum biru membuncah hingga meluah. Pikirannya mulai melayang tenggelam dalam lautan angan.

Mama

Kapan pulang?
Kamu anak lelaki mama satu-satunya, kapan kamu mau menyempurnakan separuh agamamu. Ingat sekarang bujang yang keluar dari rumah selalu dikelilingi oleh syetan.

Jika menikah itu semudah dia melakukan investasi tanpa kerja berat, maka dengan mudah dia akan melakukannya. Tapi bagi afkar itu sulit, sebab sifat pemilihnya yang menjadi dominan dalam ruang gerakan.

Seulas ingatan dia larikan ke waktu sore tadi, ada setitik pemikiran tentang sebuah senyum yang ia terbitkan. Biarlah, dia yang menanggung untuk yang ke depan. Terpenting dalam setiap tindakan adalah siap menanggung segala risiko yang tertanam.

----

Biarlah,
Langit cerah menjadi gelap
Asalkan bulan dan bintang menemaniku meski remang

Biarlah,
Siang berganti menjadi malam
Asalkan rasa hangat menjadi pelipur segala rasa yang menghadang

Biarlah,
Kuulurkan tanganku dengan tinggi dan menjinjitkan kaki
Asalkan engkau mampu kuraih dalam pelukan
Menyemayamkan segala keraguan dalam dekapanpun akan kulakukan.

---

Masih adakah yang mau baca???
Biarlah, aku tak akan menuntut cerita ini dibaca. Hehehe...
Ini hanya sekedar imajinasi semata.

Bagi pembaca yang masih setia. Terima kasih atas apresiasinya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan kebaikan.

---> Mawarmay
Kediri, 20 September 2018

1. Diam Dalam Cinta (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang