Ekstra Part

6.9K 305 46
                                    

Secercah cahaya cinta menaungi
Meleburkan segala rindu yang kian menggandrungi
Bersemayam bersama hati yang kain bernyanyi
Dalam balita sujud penuh kata Mensyukuri

Cintamu memang begitu menganggumkan
Mampu menggemparkan walau hanya dalam diam

Cintamu sungguh keindahan
Melalui perantara bait dinamika cinta dalam doa.

Cinta itu hakikatnya adalah memiliki rasa itu sendiri di dalam hati. Entah seperti apapun bentuk pengekspresi tapi yang pasti cinta selalu memiliki meski hanya sendiri.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Zaid melihat Imran yang sudah akan pulang menyusul Salim dan Farhan.

"Pulang," jawab Imran dengan tak yakin.

"Kamu saja tidak yakin dengan jawaban yang kamu berikan, lalu apa yang akan kamu yakini."

"Mas," panggil Imran seolah bimbang.

"Jemput Tifa di kamarnya lalu ajak dia ke bilikmu. Dan persiapkan walimah untuk menyebarkan berita pernikahanmu."

Imran masih dia membeku, dia memberanikan diri untuk menatap sosok lelaki yang sudah mendidik ya selama ini. Kedua orang tuanya bukan orang kaya, hanya hidup berkecukupan. Jadi ketika keduanya meninggal hanya meninggalkan rumah yang ada di sebuah desa dan Imran sudah menjualnya untuk kebutuhan hidup selama ini.

"Jangan mengkhawatirkan rejeki, Allah Maha Adil dalam membaginya."

Imran kembali menunduk lalu kembali duduk. Masih dalam diam ia mencerna segala hal yang menurutnya sangat tak bisa dipercaya. Ia takut jika keluar nanti mendapati kenyataan bahwa itu hanya angan semata.

"Jemput Tifa, ia sudah menunggumu lama."

"Mas, kenapa Mas memberikan putri Mas kepada lelaki miskin dan tidak memiliki pekerjaan sepertiku. Masih banyak lelaki yang mapan di luar sana."

"Sudah saya bilang, jangan mempertanyakan rejeki Imran. Jemput Tifa."

Imran menutup mulutnya lalu ia beranjak dari duduknya menuju ke arah kamar yang pintu jendelanya selalu menjadi sasaran matanya memandang di setiap keluar dari biliknya.

Cinta,
Baumu menyebar diterpa angin malam
Menguar menyambut dendang kata halal
Menikmati setiap hembusan napas tersengkal
Dalam diam kudoakan
Semoga ikatan ini menjadi lebih kekal.

---

Hening menjadi baground musik yang menyala diantara dua anak manusia, tersenyum malu tertutup kabut cinta yang membelenggu.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" tanya Imran sambil memindahkah lipatan sarung dan sajadah yang ia taruh di atas tempat tidur.

"Om," panggil Tifa pelan.

"Duduklah, ada yang ingin kuperlihatkan."

Tifa menatap ke arah tempat tidur lalu menunduk, aura canggung kian terasa tapi wajah datar dari lelaki yang menjadi mimpi-mimpi doanya kian menyebar.

"Duduklah Latifa," kata Imran lembut.

"iya," jawab Tifa pelan dan dengan ragu melangkah.

Tifa mengamati Imran yang berjalan menuju ke arah lemari, ada rasa heran merasuki pikirannya tapi dia hanya diam menanti hal yang akan terjadi nanti.

Tifa menatap Imran yang sudah duduk di sampingnya lalu menunduk, ada rasa buncah yang tak mampu dia ungkapkan. Bait-bait doa yang sudah sering ia lantunan seolah menggema dengan terus terang.

"Ini adalah mahar yang kusebutkan, maaf jika tidak bisa mengikuti kemaunmu."

Tifa menggelengkan kepalanya, dia menunduk hingga kristal bahagia tercipta.

"Ini jauh lebih baik dari yang kuminta." Tifa mengatakan itu sambil mendongak dan dua mata Itu pun terpadu pada jarak yang nyata.

"Maaf untuk waktu yang sangat lama."

Tifa menggelengkan lalu tersenyum bahagia, ya kebahagiannya sederhana bisa naik satu tangga lebih tinggi tingkatnya.

Imran meraup tangan Tifa lalu memasangkan cincin yang tampak kebesaran. Imran tersenyum miris melihat cincin itu tampak aneh di tangan Tifa.

"Tidak aku ijinkan melepasnya." Tifa menarik tangan saat Imran hendak melepasnya.

"Di lepas dulu ya, kita jual cincin ini lalu ditukar yang bentuknya pas dan lebih baik. Nanti kalau uangnya kurang saya bisa menambah."

"Tidak." Tifa berkata sambil menatap tangannya.

"Itu kebesaran Tifa," kata Imran lembut.

"Om mau tetap mendebat ini atau mau shalat pengantin."

Imran melongo mendengar ucapan Tifa, sudah lama Tifa tak pernah bicara dengan nada dan antusias seperti itu. Sudah sangat lama, mungkin sejak gadis di depannya ini mulai mendapatkan menstruasi pertama dan Imran mulai menjaga jarak darinya.

"Kamu ambil wudhu dulu," kata Imran sambil menunjuk ke arah kamar mandi.

Tifa mengangguk lalu ia melepas cincin yang ada di jari manisnya, jika tetap dipakai ia takut jatuh saat wudhu.

"Jangan disentuh!" Tifa memberi peringatan kepada Imran dengan wajah dibuat galak, tapi sungguh wajah lembut Tifa sama sekali tidak cocok.

"Tidak akan, Insyaa Allah."

Tifa tersenyum dengan lembut lalu mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi.

Imran menatap buku Tifa yang ditaruh di atas kasur, dia tanpa sengaja menjatuhkan dan terbuka.

Allah
Engkau memang Maha Mendengar
Barisan nada doaku Engkau kabulkan
Tangga bait doaku Engkau kabulkan.

Allah
Engkau memang Maha Sempurna
Lembut langkah kucoba merayu
Dan Engkau mengabulkan doaku.

Allah
Kuserahkan diriku untuk-Mu
Berharap Engkau melindungi dia
Yang sebaris nama kusebut dalam doa.
Muhammad Imran, itulah namanya.
Sosok yang ku harapkan menjadi imamku.

---

Ini sudah part paling panjang yaa....
Hehehe....

Masih ada yang menunggu.... 😁

Kediri, 6 Shafar 1440 H

1. Diam Dalam Cinta (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang