Pemenang

4.8K 251 17
                                    

Kulitku mengelupas
Kalah dengan rasa panas yang menyengat
Kulitku berkeringat
Kalah dengan aura panas yang mulai melekat
Tapi,
Rasaku tak pernah lepas
Karena rasaku pemenang dalam setiap perang.

Waktu berlalu, kini usia tak lagi muda dan jarak kematian semakin mendekat. Rasa itu semakin menguat membuat bibit-bibit harapan kian datang.

Afkar menatap nyala pada selembar kertas yang merupakan bagian dari proposal ta'aruf, ia hanya menatapnya tanpa main. Rasa menggebu-gebu itu kian lenyap, kala menatap barisan nama yang kian nyata. Ada apa dengannya? Mengapa dia menjadi ketakutan dengan keputusan yang telah diambil.

Kegagalan itu sudah biasa ia rasakan. Tetapi kegagalan yang kemarin cukup nyata dan obat yang ia dapatkan adalah yang dia harapkan. Sesosok gadis dengan senyum mentari, biarlah ia tak mendapatkan sang senyum pelangi yang kini di depan mata sudah ada.

Tapi, sekali lagi rasa ini mulai mengelabuhi. Ia mulai serakah mengharapkan yang sekedar merekah.

Afkar menatap cincin yang ia bawa, ada rasa sesak kala niat awal membelinya memang untuk gadis bermata mentari tapi ia sempat singgah ke sosok pelangi. Ia memiliki harapan yang entah siapa yang akan memahaminya, ia lelaki normal yang menginginkan pasangan yang lebih baik dan lebih baik.

Telat mungkin sudah kuat, ia melepas kemeja yang ia kenakan lalu menyimpan cincin keraguan. Di awali dengan basmalah ia akan kembali merangkak menuju secercah cahaya yang kian menyapa.

---

Biarkan,
Biarkan aku menjadi pemenang dari perang dalam diam
Biarkan,
Biarkan aku menjadi pemenang dari rasa dalam diam
Biarkan,
Biarkan aku menjadi pemenang dari cinta dalam diam.

Banyak yang sudah kukorbankan
Banyak yang sudah kulakukan
Banyak yang sudah kudoakan
Dan satu harapan
Biarkan, aku menjadi pemenang.

Cahaya mentari mulai merekah, Afkar kembali menatap sosok di depan mata. Sungguh ia sangat ingin segera merengguh dalam pintu kemenangan, pernikahan.

Afkar menatap Tifa dan Nadira dalam diam lalu kala ia merasa sosok di ruangan sampingnya keluar ia segera mengalihkan pandangan dan mencoba menyibukkan diri.

"Segera halalkan," kata Imran sambil lalu, Afkar termenung sejenak. Sungguh apa lelaki itu mengatakan kalimat yang begitu sakral, tak sadar pada diri sendiri yang kian hari masih sendiri.

"Kamu kapan?" tanya Afkar membuat Imran terdiam.

"Segera bila sudah waktunya." Imran menjawab dengan senyum tipis lalu berpamitan untuk pergi lebih dulu mengabaikan segala tanya yang sudah di ujung pertahanan. Sekali lagi lelaki itu membuatnya tak mengartikan.

Afkar tersenyum lalu mulai menata segenap rasa, dia sudah menentukan dan siap dengan segala keputusan.

---

Besok part awal dihapus yaa....

Kediri, 5 Oktober 2018

1. Diam Dalam Cinta (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang