Part. 17

13.3K 737 118
                                    

Eleanor mendaftarkan Sean di kelas pre-school mengingat tingkah Garreth yang semakin hari kian menyebalkan. Putranya tidak boleh terlalu dekat dengan Garreth. Pikirannya semakin terbebani oleh diperpanjangnya urusan Stephen di luar kota. Eleanor harus melindungi Sean dan demi mencegah kejadian yang sudah ia dan Garreth lakukan di kamar pas butiknya tempo hari tidak terulang lagi. Perselingkuhan ini harus segera diakhiri.

Siang ini sebelum jam makan siang, ia mengendari mobilnya menuju hotel dimana Garreth menginap. Mereka tidak membuat janji bertemu tapi begitu sang resepsionis memyebutkan namanya di saluran telepon ke kamar Garreth, ia langsung diberikan kartu untuk akses naik ke atas.

Saat tiba di lantai teratas, suara denting pintu lift membuka menambah debaran di dada Eleanor. Kakinya melangkah ragu keluar lift dan saat ia ingin merubah pikiran pintu itu telah menutup kembali. Ia berjalan dengan langkah berat hingga ke depan pintu kamar pria itu. Ia menatap bimbang kartu di genggamannya. Sejenak terpikir untuk berbalik pergi. Namun pintu di depannya membuka dan Garreth berdiri di ambang pintu mengenakan kemeja putih dengan rambut basah dan aroma kolonye yang akrab di hidung.

Garreth menopangkan tangan ke kusen pintu, tersenyum ramah pada Eleanor. "Aku tidak menduga kau akan datang. Masuklah."

"Tidak di dalam, kita bicara di restoran hotel." Eleanor berkata tegas. Pria di hadapannya mengerutkan dahi.

"Kau sudah jauh datang kemari, duduklah sebentar." Garreth bergeser memberi ruang agar Eleanor bisa lewat. "Lagipula, di dalam tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan kita."

Eleanor menghela nafas kesal.  "Dengar, kau sudah pernah mengacaukan hidupku jadi tidak akan kubiarkan itu terjadi pada putraku."

Seringai di wajah Garreth tampak berbahaya. Pria itu mencoba segala cara agar bisa menjatuhkannya lagi ke ranjang.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Jika maksud kedatanganmu meminta aku menyerah, itu tidak akan terjadi. Aku pernah melakukan kesalahan dan amat menyesalinya. Sean dan dirimu adalah dua orang yang ingin aku lindungi."

"Kemana saja kau selama ini? Setelah lima tahun baru menyadari kesalahanmu." Bola mata Eleanor berkaca-kaca, kepalanya menengadah menahan air mata yang hendak tumpah.

Mengandung seorang janin tanpa ayah adalah beban yang sangat berat, ia harus bertahan hidup dari hinaan keluarga dan semua orang. Tanpa perlindungan, tanpa uang yang cukup, flat sewa yang tidak layak. Jika bukan karena Stephen, Sean pasti banyak menderita.

Dari kebungkaman wanita itu, Garreth menyadari perjuangan berat yang dialami Eleanor. Melihat tetes demi tetes air mata membasahi wajah cantik Eleanor, melewati bibir yang bergetar secara emosional. Jemari Eleanor membasuh wajahnya yang basah. Garreth menangkap pinggang Eleanor yang limbung.

Kedua lutut Eleanor tiba-tiba lemas, ia jatuh ke dalam dekapan Garreth. Pria itu berbisik lembut di telinga nya. "Eleanor, ayo kita masuk."

Tangan Eleanor menahan dada Garreth, tangan yang lain memegangi kepalanya yang pusing. "Kurasa aku harus pergi sekarang."

"Dimana mobilmu? Aku antar pulang." Garreth menutup pintu lalu mengangkat Eleanor seakan wanita itu tidak memiliki bobot.

Digendong seperti pasangan pengantin baru, Eleanor menutup muka dengan kedua tangan. "Garreth turunkan aku. Ini memalukan."

Tapi pria itu tetap tidak menurunkannya. Eleanor memperhatikan wajah cemas Garreth saat ia hampir pinsan tadi. Memandangi wajah Garreth dari dekat, ia melihat lingkaran hitam di mata itu. Apakah Garreth sama menderita dengan dirinya? Apakah selama ini mereka saling menyiksa diri satu sama lain?

Tiba di depan lobi, petugas vallet sudah mengambil mobilnya dari tempat parkir. Garreth menurunkannya di kursi penumpang. Mobil melaju kencang menuju kediaman Stephen.

Garreth membuka pintu dan menuntun Eleanor keluar mobil. Tangan Garreth terulur merapikan rambut Eleanor ke belakang telinga. Eleanor tidak bisa menahan diri memandangi Garreth.

"Kenapa? Mau kugendong lagi?" Nada suara Garreth terdengar lucu tapi wajahnya tetap datar.

Ketahuan memandangi Garreth, Eleanor memalingkan muka, menggigiti bibir menutupi malu. "Aku masuk sendiri saja, suamiku sudah menunggu di dalam."

"Dia sedang perjalanan bisnis, kau mulai berbohong lagi." Garreth menangkap lengannya.

Eleanor memandangi jemari tangan yang menahan lengannya kemudian menatap Garreth. "Aku bisa masuk sendiri." Ucapnya sinis.

"Tidak perlu berkata kasar, Eleanor. Biarkan aku mengantarmu sampai ke pintu." Garreth berkata tulus.

Eleanor tidak bisa membantah lagi, Garreth terbiasa bersikap dominan dan sulit untuk ditolak. Garreth memegangi lengannya berjalan sampai ke depan pintu.

Eleanor mengulum senyum kepada Garreth. "Terima kasih."

Garreth membuka pintu dan menahannya untuk Eleanor. "Berikan kesempatan terakhir padaku, Eleanor. Aku pertaruhkan segenap jiwa untuk membawamu kembali."

Eleanor tidak mungkin meninggalkan Stephen setelah semua kebaikan pria itu padanya dan Sean. Ia menatap Garreth sekali lagi, mengapa dadanya sesak. Eleanor memalingkan muka, "Jangan berharap banyak padaku. Kami sudah bahagia saat ini. Jauhi Sean, kumohon. Carilah kebahagiaanmu sendiri, Garreth."

Kemudian Eleanor berjalan masuk dan menutup pintu dengan perasaan bersalah. Bagaimanapun Sean adalah putra Garreth, namun tidak ada jalan yang bisa mereka tempuh untuk bisa kembali bersama. Kenyataan tidak harus sesuai rencana, karena keputusan ini sudah diambil sejak awal demi kebaikan Sean di masa depan.

******
To be continue.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ELEANORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang