Part: 2

597 39 1
                                    

"Pernahkah sekali saja kau menganggapku sebagai adikmu, Kakak?" Selena Morrie

"Tidak!" Simon Abigail.

***

Rasanya tenggorokanku mati, aku kesulitan bernapas, dingin menusuk tulang, udara hampa, napasku berat, dan terisak.

Aku bangun dengan napas tersengal, menjangkau udara sebanyak-banyaknya dengan mulut dan tangan meraba tenggorokan cepat. Barusan rasanya seperti di cekik dalam tidur, namun kilatan dari lampu depan kaca mengalihkan semuanya, membuat jantungku seperti akan di bom ketika sadar bahwa seseorang baru saja memotretku yang tertidur dari jendela kaca depan tanpa penutup gorden.

Malam ini aku tidur di kamar lantai bawah, di kamar Ibuku dulu. Aku terlalu takut dengan kamarku sendiri sejak insiden lukisan wajahku dua hari yang lalu. Aku terlalu paranoid dengan camera CCTV yang bisa saja terpasang di sana hingga membuatku nekat tidur disini dengan membawa kunci dalam tempat tidur dengan aman, namun kupikir kamar ini lebih berbahaya dari kamarku yang sebenarnya sekarang.

Tanganku refleks menggapai pemukul bisbol disamping bantal. "Siapa itu?" Teriakku setengah panik. Angin luar ribut dan merontokkan daun ke tanah, bunyi gesekan ranting patah terdengar. Seseorang dengan jaket hodie yang memotretku barusan baru saja melarikan cameranya dengan tergesa-gesa. Dia menuju taman belakang rumah.

Suara sepatu menyepak kasar batu di ikuti langkahku yang was-was membuka pintu. Berlari seperti orang setengah gila dengan pakaian tidur yang masih melekat di tubuh, memegang pemukul bisbol yang jika Kakakku lihat dia akan berpikir aku sedang ingin membunuh orang sekarang.

Benar, aku memang berniat mematahkan tulang lelaki itu dengan tongkat ini. Dia membuatku takut. Napasku menderu, sosok yang ingin kutangkap menghilang tanpa bekas. Angin menerbangkan rambut hitamku yang berantakan, kulit kayu terasa kasar di tangan.

"Hei, keluar! Siapa disana!" Aku berteriak lagi-lagi, namun kalah dari suara angin yang menggesekkan ranting-ranting pohon kering. Mataku tajam menatap kebalik pohon paling besar di taman. "Siapa itu!" Kelebatan itu membuat jantungku terasa hampir melompat.

Suara berisik di seberang sana terdengar menyahut namun ranting tajam pohon tepat tumbang di tanah, jatuh hampir mengenai mata kaki. Membuatku berinsut mundur dengan refleks.

Aku tidak bisa bernapas. Kupikir kakiku akan maut sebentar tadi.

"Bisakah kau menunjukkan diri?Apa tujuanmu memotretku!" Lagi-lagi tidak ada jawaban. Napasku yang tak beraturan terdengar di telinga, rambutku juga basah oleh keringat. Bibirku terasa kering pecah-pecah. Pucat. Tidak ada penerang apapun selain satu-satunya cahaya dari lampu samping rumah dan terlalu jauh untuk menjangkau keseluruhan taman.

Rasanya pusing, alam seakan ingin menelan. GEDEBUKK!! Kakiku menyelip ranting pohon dan membuatku tersungkur ke tanah. Itu terjadi tanpa kesengajaan lalu sadar karena rasa sakit yang menusuk-nusuk kepala. Kepalaku terbentur.

Ini sakit sekali! Aku menyentuh luka yang terbuka di dahi, darah basah menempel di tangan, namun tidak ada waktu untuk peduli, penguntit itu lebih penting bagiku.

"Aku tidak akan menuntutmu..tapi bisakah kau menunjukkan diri?" Tanganku menopang pada pohon, menyeimbangkan lutut yang melemas. Mendekat, sebisa mungkin menghilangkan gugup dari keberanianku yang menyusut. Berharap pemukul bisbol yang kupegang tidak goyah sedikitpun, aku tidak ingin kembali dalam keadaan tidak bernyawa.

Mataku menatap tajam dalam gelap. Rumahku punya 2 taman depan dan belakang. Taman belakang paling besar dengan pohon-pohon lebat yang mengarah ke hutan adalah yang terseram, tidak pernah terlalu dii rawat dan pendapat perhatian. Kakakku tidak terlalu menekankan kebersihan taman, hingga aku sendiri yang harus membersihkannya setiap hari dengan dua tangan kotor karena menyekop dan memupuk terlalu banyak. Aku harus merawat taman rumah dengan baik seperti wasiat Ibu, namun taman ini luput dari perhatian, karena kupikir tidak akan ada orang yang akan melihat juga tidak akan mengganggu pemandangan dari taman-taman disisinya hingga dia kuabaikan begitu saja dan hari ini aku menyesal untuk itu.

MY BROTHER IS PSYCHOPATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang