Part: 9

314 22 0
                                        

Tidak ada yang tau kisah kecilku, juga tidak ada yang cemburu terhadapnya. Tak istimewa kecuali luka dan tangisan gadis cengeng. Terdengar berlebihan saat kutakan, namun dalam beberapa malam hampa sesudah pernikahan Orang Tua kami menikah, aku menemukan hatiku telah memucat, seolah semua darahnya sudah membeku dalam hening. Mati rasa.

Saat itu aku mengurung diri di ruang bawah tanah rumah lama kami, dengan lutut berkekuk dan wajah tenggelam kedalamnya, agar tidak ada yang melihat tangisku karena aku tau tidak akan ada peka. Hanya membuat hati Ibuku hancur saat mengetahui putri bunga cerry nya telah menyukai seseorang yang tak seharusnya.

Lalu yang kulakukan hanya memendam hingga rasa sekaligus luka itu menghilang dengan sendirinya. Aku berjanji akan membungkam selamanya, agar kehidupan kami baik-baik saja dan Ibuku bisa hidup dengan bahagia.

Lalu Kakakku? Aku juga berharap dia bahagia, bersama orang yang pantas. Meskipun sesudahnya dia berubah total. Bocah kecil yang mengaku tidak akan pernah pacaran tumbuh menjadi pria brengsek penyuka banyak perempuan. Bocah kecil ceria yang kukenal sebagai temanku juga berganti menjadi Kakak yang hidup dalam dunianya sendiri, seolah hanya ada dia dan beberapa orang yang di anggap penting.

Aku tidak tau apa aku penting untuknya meskipun berkali-kali dia mengatakan hanya aku satu-satunya di hatinya. Dengan catatan seorang Adik tentunya.

Semalam aku begitu marah dan emosiku labil seperti gadis belasan tahun hanya karena hal sepele. Setelah bangun aku mulai menyesal karena berbicara lancang dan kasar. Itu bukan sikap seorang Adik. Dia mengakui aku sebagai Adiknya tapi tidak ada bahagia terasa sama sekali. Sehingga ikut membuatku bertanya apa itu juga alasan kemarahan terjadi?

Kurasa aku harus meminta maaf pagi ini. Selalu seperti itu, berbuat salah lalu menyesal. Mungkin aku memang sakit jiwa seperti anggapannya selama ini.

"Kau bangun pagi sekali?"

Aku menatapnya dari belakang yang duduk di sofa televisi, hanya bisa menatap punggung karena tidak berani mendekat. Dia tidak berpaling, suasana lama kembali, saat Kakakku menjadi dingin luar biasa.

"Aku tidak bisa tidur."

Aku menggigit bibir. Kuingin dia tidak marah dan membenciku. Tanganku berusaha mendekat ke punggu sofa, ingin meraihnya..

"Maafkan aku soal semalam. Aku terlalu emosi.." Aku berhenti, mengurung niat mendekat. Rasa canggung dan bersalah sekaligus mencambukku.

Ada jeda lama.

"Tidak apa. Aku selalu memaafkanmu."

Hatiku terenyuh. Aku menghapus rasa bersalah yang kian membesar.

"Kalau begitu aku pergi dulu, aku akan kembali nanti nanti sore, Kak." Mulutku bergetar saat mengatakannya. Aku melangkah ke pintu, tak ingin berpaling karena dengan begitu dia tidak bisa melihat air mataku yang hampir jatuh di pipi. Aku menarik napas, menutup pintu pelan sekali, melupakan wajahnya yang menunduk ke lantai, menyisakan rasa sesak menghimpit dada.

Rambutku bahkan tak terikat, syukurnya itu bisa menutupi mataku yang membengkak karena menangis semalaman.

"Bisakah kau membantuku sebentar?

Aku berhenti. Pintu yang hampir kututup menganga kembali. Suara lirih yang diikuti tatapan sedihnya menatapku. Dia tersenyum paksa.

"Apa?" tanyaku tak melihat jam lagi. Tidak ingin peduli dengan jadwalku yang bakal kacau. Dia menunjukkan punggung tangannya. Membuat hatiku hancur seketika.

"Bisakah kau membantuku membalut luka ini? Aku kesulitan memakai perban."

Aku tak sanggup melihat tangan penuh darah dan luka dimana-mana itu, yang masih menyisakan kilatan seperti bekas kaca di kulit yang menggelupas.

MY BROTHER IS PSYCHOPATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang