12

3.7K 619 5
                                    

Aku ngga tau dengan perasaanku sendiri.

Ada rasa dengan Jeonghan itu merupakan suatu keberanian menurutku. Kamu harus banyak sabar karena saingan Jeonghan sebelas duabelas dengan kacang goreng, dan aku tidak punya rasa sabar sebanyak itu dalam urusan cinta.

Kalau sabar dalam menghadapi kelakuan Jeonghan, aku maju paling depan. Hahaha.

Tapi, kalau lihat Jeonghan dilihati setitik aja oleh perempuan yang lewat, aku ini langsung memblokir kontak mata mereka. Aku nggak suka.

Karena kalau sudah begitu, pasti Jeonghan langsung melancarkan aksinya menggoda perempuan itu. Nanti ujung-ujungnya kena harapan palsu. Terus, perempuan itu nangis-nangis.

Gitu aja terus.

Aku pernah bilang padanya tentang itu, dan respon dia cuma yang ketawa lalu,

"Aku tau kamu cemburu. Aku kayak gitu kan emang mau bikin kamu cemburu."

Ish.

Ada rasa dengan Jeonghan juga kamu harus siap dan berani jika hidupmu diganggu sepanjang SMA. Waktu itu, saat semester awal kelas 11, ada adik kelas yang menyatakan perasaannya pada Jeonghan. Berita itu ternyata sampai ketelinga Yena.

Besok harinya, saat dikantin, Yena menyirami adik kelas itu dengan es teh yang ada dimeja. Aku yang waktu itu cuma lihat dari jauh saja merinding.

Mangkanya, waktu itu, aku bertekad untuk ngga mau berurusan dengan Yoon Jeonghan.

Tapi, aku kena karma.

Ada rasa dengan Jeonghan juga kamu harus siap-siap mental jika menemukan manusia yang semacam Yena. Yah, contohnya keadaanku sekarang ini.

Dilabrak tiba-tiba oleh Yena seakan menjadi pelengkap makan siangku. Kalau sudah begitu, aku langsung tutup kuping. Ngga terlalu ingin meladeni sikapnya.

Nah dari kesemua minusnya, aku juga belum tau kenapa aku yang sudah "sedekat" ini ngga tau perasaanku sendiri pada Jeonghan.

Ya gimana, akupun engga tau perasaan sebenarnya Jeonghan.

Aku juga penasaran dengan perasaan Jeonghan, sebenarnya.

Waktu itu, Mingyu—teman Jeonghan pernah bilang kalau sebenarnya Jeonghan itu juga punya rasa padaku. Tapi yang namanya Mingyu dan Jeonghan itu sama aja, mau ngomong seserius apapun, tetep aja omongannya belum bisa kupercaya semuanya. Oh, dan waktu ibu Jeonghan sendiri yang bilang. Aku juga belum yakin.

Jadi, intinya, aku dan dia ini diragukan statusnya.

Dan, aku lupa kalau sekarang masih ada dikelas dan ada Jeonghan didepan mukaku yang sedari tadi wajahnya tetap tersenyum menampilkan deretan giginya yang putih.

"Kenapa bengong? Kaget ya?"

Aku menerjap-nerjap mataku berkali-kali, bangun dari lamunanku yang super tidak jelas.

"Ngapain kaget? Kamu kan udah begini daridulu."

"Aku serius, Jen. Ngga tau apa aku belajar mati-matian buat dapet nilai gede biar kamu mau jadi pacar aku?"

"Ish."

"Jeonghan, Jenna, jangan berisik!" Ouh, ketahuan Pak Park.

***

Sore yang indah. Mataharinya mulai tenggelam, memancarkan semburat orange campur pink dan biru. Entah kenapa warnanya absurd banget, tapi intinya bagus. Disaat-saat kaya gini memang bagus dijadikan momen buat merenung. Tapi ngga bisa, yang mau direnungi lagi ada disampingku sekarang.

"Jen, ngomong dong."

"Hm."

"Kenapa sih, Jen? Biasanya juga ngga gini."

Ya gara-gara kamu.

"Aku ngga kenapa-kenapa, Yoon Jeonghan."

"Eh, Han." Aku kembali bicara setelah ada jeda yang cukup lama.

"Kenapa?"

"Aku mau kamu berhenti ngerokok, berhenti manjat pagar, bisa?"

Ia tampak menerawang berpikir. Aku memutar mataku malas, ya siapa juga yang mau mengiyakan ajakan untuk berhenti mengkonsumsi barang enak yang cuma menimbulkan penyakit macam rokok itu?

"Bisa."

"Hah? Bohong. Pasti cuma sehari doang." Aku tertawa remeh mendengar penuturannya. Bisa katanya? Aku sangsi.

"Mangkanya jadi pacarku. Jadi kalo aku nanti mau ngerokok, kan kamu bisa langsung ambil terus buang rokoknya."

"Kenapa harus jadi pacar dulu? Kan kalo ngga juga bisa."

"Aku maunya yang official."

"Tapi emang kamu suka gitu sama aku?"

Jeonghan berhenti, lalu menatapku tepat dimata.

"Yoo Jenna, kan aku udah bilang kalau aku suka sama kamunya beneran. Dari awal."

"Lagian, kamu kan begitu ke semua orang. Aku yang bingung."

Astaga mulut!!!

Dia tersenyum lalu memegang pundakku.

"Kenapa sih, udah tau jadi ketua kelas, kenapa bodoh banget?"

"Lah nggak ada hubungannya ya!"

"Yang penting kan aku seriusnya sama kamu."

"Iya-iya." Aku berjalan pergi dengan sedikit berlari mendahuluinya yang ada dibelakangku. Malu!

"Jadinya, jadi nih?" Teriak Jeonghan dari belakang. Untung ajanih keadaan gang dekat rumahku lumayan sepi. Coba kalau sedang ramai, bisa-bisa aku jadi bahan omongan ibu-ibu.

Iya.


ㅇㅇ
hai buat kalian yang masih setia baca ini dan ngevote, terimakasih banyak atas votenya! ohiya satu comment kalian pun sangat berarti bagikuu bikin semangat nulis😭💜 NAH mungkin habis capt ini, aku mau puter point of viewnya jadi dari view Jeonghan, setuju atau tetep di POVnya Jenna aja? Tolong dijawab ya dan terimakasih sudah mau menjawab!!💜

a J team - Yoon Jeonghan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang