"Lepas-" ucap Darius yang tidak aku gubris.
Sejak aku bertemu Darius di bandara Soetta aku tidak melepas genggaman tanganku darinya. Aku terlalu senang karena hari ini kami akan berangkat ke Jepang.
"Aku kayak lagi gandeng anak monyet tau ga? Ga mau lepas." sindir Darius.
"Kalau gitu kamu kenapa pacaran sama anak monyet?" tanyaku yang membuat Darius diam.
"Nanti kita keliling kemana aja?" tanyaku penasaran.
"Ke semua tempat yang bisa kita jangkau,"
"Ke gunung Fiji kan?" tanyaku yang tidak diberi tanggapan oleh Darius dan aku yakin itu artinya iya.
Diam itu berarti iya kan?
"Kita nginep di hotel kan? Pisah kamar?" tanyaku.
"Satu kamar,"
"Twin bed?"
"Engga,"
"Ih! Kamu mau modus ya?"
Darius hanya diam dan memejamkan matanya sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Kita dari Haneda naik apa ke hotel?" tanyaku.
"Kamu kayak dora lana-lama banyak nanya." aku melepas gandengan dan menjauh dari Darius.
"Gausah ngambek," Darius menggeser duduknya mendekat padaku dan menyandarkan kepalanya di kepalaku.
"Kita transit di Singapur sekitar enam jam, kita jalan-jalan ya disana." ujarku.
"Iya, kamu jangan belanja tapi." aku terkekeh.
Aku dan Darius menuju gate karena memang sudah saatnya untuk boarding.
"Darius!" aku dan Darius sontak mencari siapa yang memanggil Darius dan menemukan laki-laki tinggi menghampiri Darius.
"Hans!" sapa Darius lalu berjabat tangan dan memeluk laki-laki yang dipanggil Hans itu.
"Pacar lo nih?" tanya orang itu yang dijawab dengan anggukan mantap oleh Darius.
"Tam, kenalin ini Hans kakak kelas aku waktu SMA. Dia juga kerja di tempat aku magang," aku bersalaman dengan Hans.
"Tamara,"
"Hans- kalian mau ke sg?" tanya Hans.
"Jepang tapi transit di Singapur dulu." jawabku.
"Waduh berduaan," ledek Hans yang membuat Darius tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya.
"Gapapa udah gede," Hans menepuk pundak Darius.
"Darius tuh dulu ketua ekskul vokal sama dia sering banget lomba debat." aku mendengarkan cerita Hans dengan seksama.
Dari dulu suka ikut lomba debat pantes aja kalau lagi berdebat argumen yang dikeluarkan tuh gabisa dipatahkan.
"Darius juga pernah berantem loh," aku menatap Darius tidak percaya.
"Kenapa? Emang aku ga terlihat bisa tengkar apa?!" ujarnya dengan sewot.
"Ya kamu kan selalu bilang buat apa tengkar kalau bisa selesai pakai otak?" sindirku.
Kami berpisah dengan Hans karena tempat duduknya di bagian belakang sedangkan kami di tengah. Darius menyuruhku untuk duduk di dekat jendela agar ia yang di tengah.
Padahal aku yakin ia tidak mau aku duduk di tengah karena sebelahku orang bule tampan.
"Kamu berantem karena apa sih? aku penasaran," tanyaku.