Hasimmm...
"Ini semua gegara kamu tau gak?!" Geli menatap tajam Mocha. Mocha menghela nafas.
"yeh maaf kali bang, Mocha juga gak tau kalau ujung-ujungnya kita bakal gini, lagian, abang sih, segala susah banget dibangunin, ya terpaksa aku siram." Kata Mocha menunduk tak mau menatap Geli yang menatapnya tajam.
"Iya, iya. tapi lain kali, liat keadaan dulu istri.ku.sayang." kata Geli yang akhirnya dipenuhi dengan penekanan. Dengan cepat Mocha mengangguk, sambil menunjukan jari telunjuk dan tengannya membentuk 'V'.
"Gak akan gitu lagi deh, janji Om!" Mocha mengatup mulutnya seakan berkata salah, sedangkan Geli malah mengangkat halisnya dengan muka yang menurut Mocha sangat menyebalkan.
"Apa tadi kamu katakan?"
"Eh? Yang mana?"
"Yang tadi."
"Gak akan gitu lagi,"
"Bukan, bukan itu, setelahnya?!"
"Emm, janji?"
"Setelahnya lagi Mocha?!!" geram Geli.
"Yang mana?" tanya Mocha sok polos.
Geli menyeringai dan mendekati sisi karpet tempat tidur Mocha, mulai menyudutkan gadis tersebut.
"Yakin gak inget?" Geli terus saja merangkak mendekati Mocha yang mundur.
"Be-bener-"
"Loh, kok, gugup sih," Geli tersenyum, "Biasa saja, dong!"
Mati aku! Kata Mocha saat tubuhnya sudah tersudut ditembok. Geli semakin terkekeh dalam hatinya melihat kegugupan serta ketakutan Mocha itu. ucul banget dah. Batinnya.
"Mau kamu ulangi? Atau aku yang ulangi saat kejadian dikantor itu hem?"
Glek...
"O-oke, Oke, aku kalah. Janji Om! Puas?!" Geli mengangguk lalu mengelus pipi Mocha.
"Jangan menekankan perkataan pada suamimu sayang, itu tak sopan." Merasa sudah cukup dia menjahili Mocha, Geli kembali ketempat tidurnya. Maksudnya sisi lantai yang akan dirinya tempati tidur.
Ya. karena penyiraman tersebut, Geli selaki korban dan Mocha selaku pelaku terpaksa untuk tidur lantai ruang tamu rumah kontarakan mereka. dengan beralasan selimut yang banyak dan tak lupa bantal, jadilah tempat tidur dadakan tersebut.
Dalam hati, Geli sangat yakin bahwa nanti pagi dirinya akan pegal-pegal. Belum lagi, keadaanya yang sedari tadi bersin, sudah pasti dapat disimpulkan, dirinya akan mendapatkan flu segera. Garis bawahi, segera.
"Abang Mau apa?" mau dibelai! Kata Geli dalam hati.
"Tidurlah Mocha ku, sayang, memang mau apa lagi."
Bluss...
Muka Mocha merona mendengar kata 'sayang' yang diucapkan oleh Geli. Aing ngapung atuh kang, ngapung! Batinnya.
"Heh muka kamu kenapa memerah, kamu sakit?"
"Si-siapa yang sa-sakit?"
"Kamu!"
"Eh, aku, aku gak papa."
"Yakin?"
"He-he'em!"
"Yaudah." Katanya acuh, lalu mulai tidur ditempatnya.
Mocha tercengang melihat kelakuan suaminya, Eh kok nyebelin ya? batin Mocha.
@@@
Pagi yang cerah, matahari mucul diufuk timur dengan perlahan dan malu-malu. Geli dan Mocha, pasangan suami-istri baru itu, tengah asik berbincang-menebar kemesraan-didepan sebuah sekolah menengah atas, dimana tempat sang istri menimba ilmu-nya.
"Aku sekolah dulu ya, bang," Kata Mocha sambil menyalimi tangan suaminya. Geli mengangguk mengiyakan.
"Baik-baik disekolah!"
"Iya, bang."
"Jangan genit!"
"He'em."
"Inget suami dirumah!"
"Heh, emang abang gak kerja ke kantor?" tanya Mocha.
"Abang gak akan kerja di kantor Ayah lagi,"jawab Geli.
"Ke-kenapa?"
"Sudah aku bilang dari awal bukan, aku akan membuka usaha ku sendiri dari awal."
Mocha manggut-manggut mengerti, gadis itu baru ingat jika sang suami mempunyai keinginan lain setelah menikah.
"Hehehe, abdi poho teh, kang," katanya dengan logat sunda.
"Hmm bagus juga tuh."
"bagus, Bagus apaan?"
"Panggilan tadi," kata Geli membuat Mocha bingung.
"Panggilan apa, yang mana?"
"Akang, hm ya, mulai sekarang kamu jangan panggil aku dengan Abang lagi, tapi Akang!" perintahnya tidak bisa diganggu gugat.
"Yakin, bang, eh, kang?"
Geli mengangkat salah satu halisnya, seakan bertanya 'maksud mu'.
"Yakin, lah, emang kenapa?"
"Memangnya tak malu jik-"
"Tidak, kita ini orang Indonesia, kenapa harus malu dengan panggilan romantis dan keren Negara sendiri, aku tidak mau panggil Bunny yang sama saja, kau menyamakan ku dengan kelinci atau honey yang menyamakan ku dengan madu lengket itu, aku ini manusia, kau paham?!"
Dengan patuh Mocha mengangguk.
"Paham, kang."
"Bagus," kata Geli mengelus rambut Mocha, "sekarang kau masuk, lah, dan sekolah yang bener, pulang nanti akan ku jemput."
Mocha mengiyakan dan masuk kedalam sekolahannya. Sedangkan Geli sendiri, hanya bisa diam disana menatap punggung istri kecilnya memasuki area sekolah.
"Wedeh si abang, udah nebar pesona aja pagi-pagi," kata seseorang dibelakangnya, Geli membalikan badannya dan melihat siapa orang tersebut.
"Bacot lo!" katanya sambil menatap Fary dan Hillal kesal.
"Woles kang, kang cangcimen! Hahaaaa..." tawa Fary dan langsung melesat pergi meninggalkan kedua kakaknya yang terdiam menatapnya, yang satu diam menatapnya marah dan yang diam menatapnya tak mengerti.
"Apa, mau ngetawain gua lagi?!" Hillal mengerjapkan matanya berulang kali.
"Eh, enggak, kan, emang gak ada yang lucu, terus apa yang mau diketawain kak?" tanya Hillal polos. Merasa malas meladeni kelemotan adiknya yang paling tamvan itu, Geli menghela nafas berat.
"Aarrgghhh... seterah, lah, peduli monyet!" katanya segera mungkin meninggalkan Hillal yang sepertinya akan semakin menatapnya heran.
"Monyet? Dimana ada monyet?" tanya Hillal heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
OM Tetangga !
RomanceNote; ada 21+, Ada humornya, bukan fiksi penggemar . . Geli yang hari itu akan melangsungkan pernikahannya hampir saja batal. sang tunangan, pengantin wanitanya tidak datang kepernikahan mereka dan menghilang begitu saja dan sialnya lagi, satu-satun...