Kaki ini masih gemetar, berusaha menguasai diri ini untuk tetap berdiri di tempat. Matanya masih menyorot tajam, bibir merah menyalanya tampak berdecih yang ia samarkan dengan senyuman.
"Ini sungguh sebuah kejutan, aku nggak nyangka kamu bisa benar-benar mirip dengan Diana." Detak heels sepatunya nyaris membuat napasku sesak, kakinya terus melangkah demi melihatku dari dekat, "bahkan matamu!" ucapnya diikuti gelengan kepala.
Dia terlihat seperti sedang bernostalgia, ya ... nostalgia yang membuatku tidak nyaman. Apa salah jika aku mirip dengan mamaku sendiri?Perempuan dengan tinggi 170 cm kini hanya berjarak satu anak tangga, menatap ke dalam mataku, sorotnya mengintimidasi yang membuatku bergeming, bisa kurasakan jantung ini berdetak cepat. Terbayang saat pertama kali melihatnya, pertemuan yang tidak akan pernah terlupakan.
Hari di mana papa membawaku ke rumah ini, dia memaki papa, bahkan mereka bertengkar hebat, dia nyaris menarikku dan mendorong paksa, dan bilang nggak ada yang menginginkan kehadiranku di sini, tapi papa menjadi pelindung, aku menangis ketakutan berlari ke balik tubuhnya sambil memeluk boneka panda besar yang papa belikan.
Papa menariknya ke sebuah ruangan dan menguncinya dari dalam. Hanya teriakan-teriakan mengerikan yang terdengar, aku menutup telinga sambil terus memanggil mama.
Kata mama, kalau mendengar seseorang marah hingga aku ketakutan, tutup telinga! maka mama akan datang secepatnya, memelukku dan memastikan semua baik-baik saja, mengusap rambutku memberikan nyaman. Tak peduli sebanyak apapun aku memanggil mama, itu tetap sia-sia, mama sudah ada di balik tanah basah, dia dimakamkan bahkan tanpa bisa kutatap wajahnya.
Menangis, yang aku tahu saat itu hanya menangis, berharap mama bangun, itu saja. Hingga seorang laki-laki bersetelan serba hitam datang berlutut memelukku tanpa diminta, mengelus rambut dan mengusap air mataku, sempat bingung saat melihat matanya merah dan ada yang tergenang di sana, itu terlihat saat dia melepas kaca mata.
"Semua akan baik-baik saja. Kamu nggak sendirian." Pelukkannya terasa hangat dan menenangkan. Namun aku tetap menginginkan mama, bukan siapapun juga. Aku kembali menangis meraung di dadanya.
"Gisel!" Teriakan papa mengejutkan kami berdua, dia membanting helm kurung biru metaliknya ke lantai. papa menarik tangan perempuan itu, tapi dia menolak.
"Lepasin Willy! Biarkan aku memberi tahu yang sebenarnya!" dengan santai dia menghenmpaskan genggaman papa.
"Siapa yang memberimu izin untuk datang, hah!" Papa berteriak.
ada apa sebenarnya? Apa yang mereka sembunyikan dariku? Hanya terasa sesuatu yang hangat merembes dari mataku. Aku benar-benar dilempar ke masa lalu, hari di saat aku kehilangan mama yang paling kusayangi, mereka mengingatkanku bahwa aku hanya seorang anak yatim piatu.
Perempuan itu kembali berjalan ke arahku, membetulkan rambut yang sedikit menutupi sebagian matanya. Dia tetap berdiri angkuh dan menunjukku.
"Lihat dia Will! aku nggak yakin kamu akan bisa menepati janji!""Cukup Gisel!" Papa mengacak rambutnya sendiri, matanya merah, air mukanya menegang sempurna.
"Biar dia tahu yang sebenarnya, bukankah dia sudah 17 tahun? Aku harap kamu nggak akan lari dari janji yang kamu buat sendiri!" ucap perempuan itu dengan suara tenang, tak ada ketakutan di wajahnya meski papa sudah berkali-kali membentaknya.
Ucapan perempuan itu menciptakan pertanyaan besar di kepalaku, ada apa dengan 17 tahun? Janji? apa maksud semua ini?
Papa mencengkram kuat pergelangan tangan dan menarik perempuan menuju pintu keluar yang masih terbuka lebar.
"Apa yang kalian sembunyikan?" Akhirnya aku angkat bicara, berusaha tenang untuk menuntut kejelasan atas semuanya.
"Masuk kamar, Mika! Besok kita bicara!" Papa menyuruhku masuk tanpa membalikkan badannya.
"Aku besok 17 tahun, lalu kenapa?" Suaraku mulai berubah, emosi mulai menguasaiku, "apa yang kalian sembunyikan! Kalau papa nggak mau bilang, biarkan Mama Gisel bicara, Pa!" Pertahananku pecah, aku meneriaki mereka sambil menahan sesak, dua orang dewasa yang tadi bersitegang kini berhenti tepat sebelum melangkah ke luar pintu.
"Mama? Aku bukan mamamu, ingat itu!" Dia menghardikku tanpa menoleh ke belakang, papa terus menariknya tanpa mempedulikanku yang kini terisak, tangisku pecah sekarang, aku tersungkur, untuk pertama kalinya aku merasa diabaikan.
Perlahan aku bangkit, mencengkram boneka panda kecil yang kukeluarkan dari saku sweater sebelah kiri. Menatapnya sesaat sambil mencengkramnya kuat.
Baiklah papa, mulai saat ini nggak akan ada Mika manis yang selalu menurut pada jadwal, atau rules bullshit apapun lagi.
.
Bersambung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Papa He's Mine!
Любовные романыMika seorang gadis yang diadopsi seorang pria setelah ibunya meninggal. Hidup dan bahagia bersama. Kemudian di ulang tahun nya yang ke 17 harus mendapatkan kejutan bahwa Papa yang mengasuh dan menyayanginya memiliki sebuah rahasia. Rahasia yang tida...