Hot Room

17K 465 3
                                    

Di sinilah aku sekarang. Di kamar mewah hotel yang di dominasi warna maroon dan hitam pada dinding dan dipan tempat tidur ukuran besar menghadap ke televisi LED 42 inch. Cahaya lembut lampu dari sudut sudut ruangan menghangatkan suasana. Entahlah, alih-alih hangat sekarang aku merasa gerah hanya berdua dengan Papa. Di tempat tertutup yang pastinya kedap suara.

Papa meletakkan kunci mobil ke atas meja sofa. Aku menikmati suasana kamar indah ini melempar pandangan ke sekeliling kamar. Dia membuka kancing kemeja.
"Papa mau ngapain?" refleks aku menutup mata.

Papa hanya diam. Dan itu membuatku tidak nyaman. Aku berbalik memalingkan tubuh ke jendela yang tirai putihnya menjuntai hingga bawah.

"Santai aja Mika. Kamu 'kan sering lihat Papa buka baju!"

"Iya, tapi Itu 'kan di rumah. Di ruangan nge-gym Papa, bukan di hotel dalam satu kamar pula, tanpa ada satu orang pun yang bisa kumintai tolong kalau ... " ucapanku terpotong. Papa menarik lenganku. Aku berbalik menghadap wajahnya sekarang. Tubuh atletis dengan sedikit bulu halus di dada cukup membuat jantungku berdebar. Tangannya masih mencengkram lenganku.

"Liat Papa, Mika!"

"Sekarang pun aku sedang melihat Papa! Cepat kenakan lagi kemeja Papa! Jangan bilang Papa Eksibionis yang ingin menunjukkan 'itu' ke Mika!"
Mati-matian aku mengumpulkan keberanian hingga sanggup mengatakan hal jahat ini dengan nada tenang pada Papa.

Papa malah tertawa.
"Eksibionis kamu bilang? Kamu penuh kejutan dan menggemaskan Mika. Kenapa hanya Eksibionis yang sempat kamu pikirkan, padahal Papa sanggup berbuat lebih dari itu!"

"Papa Pedhopilia?"

"Kamu bukan anak kecil lagi Mika!"

Aku bergidik. Mundur beberapa langkah demi menghindari papa yang matanya berkilat aneh sekarang. Deru napasnya memburu. Aku terdesak. Dia maju saat aku mundur menghindarinya. Hingga kami tertahan tembok. Dua tangannya menghalangiku. Kami saling menatap. Detak jantungku berpacu cepat. Bagaimana pun aku tidak mau tertekan situasi seperti ini.

"Pa ... Papa mau apa?" pertanyaan polos dan bodoh kutujukan dengan nada datar.

"Mika. Lihat wajah Papa. Dan tatap baik-baik!"
Sepersekian detik aku menatap wajahnya. Matanya begitu dalam hingga aku kesulitan membaca apa yang tergambar di Sana. Aku beralih ke hidung lalu bibir. Dan ntah kenapa aku menelan ludah saat melihat bibir merah papa begitu dekat. Darahku berdesir halus yang nggak bisa kulukiskan.

"Pa ... bisa 'kan kita ngomong seperti biasa. Aku mulai gerah jika Papa terus menghimpitku seperti ini." Aku mengibaskan telapak tangan kanan ke wajah. Berusaha tenang agar papa tidak menyadari degup jantung yang seakan mau meledak.

"Apa mau Papa bantu membuka pakaianmu agar kamu nggak ngerasa gerah lagi?"

Aku terkejut dengan ucapannya. Mana mungkin! Papa nggak akan sanggup melakukannya. Jika aku hendak tidur pun dia akan rapihkan selimut menutupi pahaku yang terbuka.

Aku membalas tatapannya. "Papa nggak akan melakukan itu!"

"Siapa bilang, Mika. Di sini kita hanya berdua."

Ponselku berdering, Papa meraba pahaku dan mengambil paksa handphone dari saku celana jinsku tanpa izin. Layar berkelap kerlip dan sekilas terlihat wajah Gilang di sana. Alih-alih dijawab justru papa melempar Ponselku ke ranjang.

"Kenapa dilempar Pa?"
kuhujam mata papa dengan tatapan tajam. Dia tampak tidak menggubris ucapanku. Papa terus mendekat dan menyudutkanku  ke tembok. Tatapan instens itu seakan menghipnotisku.

Pause.

Hot Papa He's Mine! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang