Aku Mabuk

16K 369 7
                                    


Tok tok
Dua kali ketukan di pintu kamarku. Dengan malas
aku bangun dan melihat keluar. Dia berdiri di depan pintu dengan tangan papa terjulur ke kamarku sementara wajahnya berpaling ke arah berlawanan.
"Sementara pakai ini dulu. Papa sudah transfer ke rekening kamu, beli sendiri pakaian untuk dua minggu." Papa melenggang pergi saat kuterima baju jearsey Real Madrid putih dan celana training hitam yang sepertinya akan kepanjangan.

Kuendus bahan pakaian ini. Oh God. Baju ini menguarkan aroma khas harum papa. Kuhirup lebih dalam lagi dengan mendekatkan hidung ini ke bahan jearsey lembut sebelum kukenakan. ini baju bersih namun aku sungguh menikmati aromanya.

Aku meraih ponsel dan menelepon Mora.
"Ya Mika, ada apa malam-malam gini nelpon gue?"

"Besok kita pergi ya, temenin gue belanja."

"Belanja apa si Mika? Besok pulang sekolah?"

"Besok gue nggak bisa sekolah, pokoknya ceritanya panjang. Nanti gue jemput deh."

***
Hari ini saat aku masih malas bangun dari tempat tidur, Bibi mengetuk kamar memintaku untuk sarapan. Tak kuhiraukan ketukan pintu itu. Kuambil bantal dan menutup wajahku. Sepertinya papa sedang membangun Tembok Berlin di antara kami. Bayangkan ... mengetuk kamarku saja sepertinya dia mulai alergi, hingga meminta orang lain melakukannya.

Terdengar ketukan lagi. Kali ini lebih kencang dari yang tadi. Masa bodo! Aku nggak mau sarapan apalagi sendirian. Pintu kamarku saja sudah dihindari, apalagi makan satu meja. Dia pasti sudah pergi meninggalkan rumah.

Pintuku masih diketuk.
"Mika! Sekolah." Hah ... itu suara papa.

"Aku nggak bisa sekolah! Apa Papa ingat sudah membuang semua bajuku termasuk seragam sekolahku!" Aku berteriak dari balik bantal.

"Buka dulu Mika!"

Dengan malas aku bangun dan membuka pintu.
Tanpa berkata papa menyerahkan satu stel jas coklat dan rok remple selutut lengkap dengan kemeja putih. Dan semua baru. Kutatap papa tak berkedip.

"Nggak ada alasan lagi kamu nggak sekolah!" Suaranya dalam dan berat. Kemudian pergi meninggalkanku begitu saja.

Alamat meng-cancel kepergian bersama Mora! Papa keterlaluan. Bagaimana dia bisa secepat ini mendapatkan seragam baru untukku?.

Kuraih ponsel dari balik selimut. Segera kukirim pesan pada Mora jika hari ini aku berangkat sekolah.

***

Wajah Mora sudah tampak ingin menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Kubiarkan dia dengan rasa penasarannya sampai nanti di tempat dan waktu yang tepat.

Dari kejauhan tampak Gilang melambaikan tangan. Aku segera balik kanan demi menghindari nya, namun gagal. Gilang setengah berlari menghampiriku.

"Mika kenapa lo kemarin nggak sekolah? Gue telpon nggak diangkat-angkat. Lo sakit?"

"Nggak kok Lang. Gue cuma lagi mau sendiri aja kemarin. Sorry ya gue jadi nggak angkat telpon lo."

"Oke, nanti. Siang ke rumah gue Yuk, gue punya game baru."

"Nanti siang gue mau pergi sama Mora. Besok besok aja ya Lang."

Gilang mengerucutkan bibir kemudian tersenyum mengiyakan. Lalu kami berpisah saat bel masuk berbunyi dari pengeras suara di tiap koridor.

***

Pulang sekolah aku langsung tancap gas bersama Mora ke sebuah Mall yang nggak jauh dari tempat tinggalku. Kami memasuki mall tepat jam 2. Tanpa buang waktu kami langsung menyasar distro pakaian wanita. Memilih beberapa yang terlihat menyegarkan mata. Terutama yang bisa mencuri pandangan papa.

"Mika, lo nggak salah mau pakai baju beginian?" Mora keheranan mengangkat baju atasan dengan leher kerah rendah yang mungkin akan agak mengekspose bagian dada.

Aku mengangguk asal tanpa menoleh pada Mora. Jika dijawab bisa panjang khotbah Mora. Selain dia pintar menilai rasa sebuah masakan, dia juga hobi menilai sikap orang. Padahal itu tidak merugikan atau menguntungkan untuknya, tapi ya apa bisa dikata? Itulah Mora.

Selesai belanja membeli beberapa potong baju cantik kami masuk ke sebuah restoran Jepang. Mora yang memesan beberapa menu santap siang. Sementara aku merapihkan belanjaan ke kursi sebelah kanan.

"Oke, sekarang sudah lega. Gue mati-matian nahan perasaan sama apa yang mau lo omongin Mika!"

"Sabar Buu. Iya gue akan cerita. Tapi awas lo kena heart attack, siapin jantung lo ya."

Mora mendekatkan kursi dan memajukan wajahnya lebih dekat menatapku lekat.

"Gue Cipokan sama Papa," bisikku malu-malu.

"What!!!" Mora teriak dengan membelalakkan mata.

"Lu gila Mika?"

"Bukan gue yang mulai. Papa duluan."

"Trus? Abis Cipokan lu ngapain? Nggak mungkin lu nggak ngapa-ngapain!"

"Sumpah gue nggak ngapa ngapain, tapi ..."

"Tapi apa?"

"Besoknya gue yang nyipok papa duluan." Suara lebih rendah dari awal bicara tadi.

Mora geleng-geleng kepala sambil dua tangan memegang pelipisnya.

"Gue butuh minum ... minum ..."

Tak lama datang pesanan kami. Mora langsung menghabiskan setengah gelas Orange jus di atas meja.

"Lu itu anaknya Mika!"

"So What? Gue anaknya tapi bukan darah dagingnya, jadi gue pikir nggak ada yang salah."

"Ya ampun, dia itu udah nganggep lu anaknya, mungkin dia cuma khilaf."

"Itu salahnya, siapa suruh ngehipnotis gue dengan sengatan listrik tegangan tinggi 1000 volt tiba-tiba kayak gitu ke gue. Ada sebab Akibat Mora. Jadi jangan berbuat kalau nggak siap dengan resikonya." Aku. Meminum avokado jus menghilangkan dahaga, "Dan sekarang gue sudah. jatuh cinta."

"OMG. Cermin mana cermin?" Mora mencari sesuatu dari tasnya. "Lu itu lebih muda, setengah dari umurnya pun belum sampai! Lu nggak malu jatuh cinta sama Bokap lu sendiri!"

"Nggak!"

"Jangan bilang semua baju sexy yang lu beli tadi buat mencuri perhatian papa lu itu!"

Aku tak menjawab, hanya dengan memainkan alisku kurasa Mora sudah mengerti maksud tujuanku.

"Astaga!!! Susah ya ngomong sama orang yang lagi mabok."

Aku tersenyum mendengar ucapan terakhir Mora. Ya, aku mabuk. Mabuk cinta pada papaku sendiri. Nggak ada yang salah, toh dia bukan papa biologisku. Jadi Tuhan tidak akan murka atas kisah cintaku ini. Malam nanti aku akan berikan kejutan untuk Papa. Aku penasaran bagaimana reaksinya.

Bersambung.

Hot Papa He's Mine! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang