Impas!

15.1K 412 10
                                    

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Papa menyetir fokus pada jalan. Nggak ada sepatah kata pun yang keluar hingga kami tiba di rumah.

Aku membuntuti Papa yang berjalan ke kamarnya."Kenapa kamu masih mengikuti Papa, Mika? Kamarmu di sana!"

Aku menghentikan langkah.
"Ayo kita buat perjanjiannya!"

"Ini sudah malam, kamu pasti cape, istirahat sana!" Papa menutup pintu dan mengunci dari dalam. Meninggalkanku terpatung di depan. Oke. Baiklah. Aku balik kanan, ada benarnya juga, aku lelah. Sudah tak memiliki tenaga lagi. Aku rindu Erlo boneka panda besarku.

Mata ini tertegun saat melihat isi kamarku.
Sepi. Tak ada satupun barangku lagi.
Hanya ada tempat tidur dan meja yang masih dalam posisi. Lemariku sudah tak berisi. Rak buku kosong, tak ada satupun bukuku di sini. Bahkan gorden pandaku sudah diganti dengan warna abu-abu polos yang menjuntai hingga lantai.

Seserius inikah papa dengan ucapannya? Aku melangkah masuk memeriksa laci lemari dan laci lainnya. Kosong ... Papa tampak tidak main-main! Aku harap ini hanya mimpi. aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa papa.
Aku sudah terbiasa di sisinya, tertawa, bermanja bahkan menangis dipelukkannya. Tempatku berkeluh kesah.

Kurebahkan diri di kasur yang sudah diganti seprainya. Abu-abu tanpa corak apapun. Sepi. Aku tahu ini akan sesepi hati papa jika aku tidak di sini lagi. Dari cara dia memperlakukan kamar ini. Begini  jugakah dia memperlakukan hatinya sendiri? Seperti ada luka dalam namun dia tidak mau diobati.

Kita lihat besok Papa, aku akan menjadi obat yang selama ini kau hindari!

***
Tak ada aroma masakan seperti pagi-pagi sebelumnya. Tak ada yang teriak "Mika ayo bangun sekolah!" Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata semalaman. Hanya membulak balik tubuh demi mencari kenyamanan yang tidak kunjung kutemukan. Aku melihat ke cermin. Bagus! Sekarang aku jadi panda Sungguh an! Kantung mata ini berwarna kehitaman. Jam tujuh pagi ini baru bisa kurasakan mata ini lengket dan tak bisa melihat apapun lagi.

Kepalaku terasa berat. Dan perut mulai keroncongan. Dengan gontai aku keluar kamar. Ini sudah tengah hari. Sinar matahari begitu menyilaukan saat mengintip ke luar jendela. Mencari apakah deru suara mobil yang baru membangunkanku itu mobil papa.

Aku segera menghampirinya. Tapi hanya ada Om Reno di bawah. "Om Reno ... Papa mau ke mana?"

"Ada urusan Mika."

"Urusan apa, sama siapa?" Entah kenapa firasatku bilang dia menemui Mama Gisela.

"Ya urusan orang tua, mau tahu aja kamu!"
Dia menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki tak berkedip. "Kamu belum mandi ya Mika? Bau!" ucapnya sambil pergi ke ruang tamu.

Kuangkat tangan kanan dan bergantian mengangkat tangan kiri demi membuktikan bau seperti yang Om bilang. Ini nggak bau Om!

Mandi sambil berhayal di bawah guyuran sower. Membayangkan hari-hari setelah hari ini. Aku sanggup ditinggal papa pergi urusan kerja di luar kota untuk beberapa hari. Tapi kalau untuk selamanya? Aku tidak yakin. Kurasa aku bisa mati!

Kutelpon Papa lebih dari sepuluh kali. Tapi tak kunjung diangkatnya. Ayo jangan persulit keadaan kita. Apa papa tidak mau bicara lagi denganku? Apa karena ciuman itu mungkin papa merasa bersalah padaku?

Saat papa tiba. Aku langsung menubruk papa yang baru memasuki kamarnya. Aku muncul dari balik pintu karna sudah bersiap di sini sejak tadi. Kudorong tubuh papa cepat ke tembok. Sedikit berjinjit kucium paksa bibir papa. Seperti kursus kilat kemarin, aku praktikkan semua. Ya, sekasar yang dia lakukan kemarin. Intens, aku merasakan tiap inci bibirnya yang manis. Semanis perasaanku yang terbang tinggi sekarang. Lumatan kasarku makin dalam dan papa bagai dicucuk hidungnya, yang tidak bisa menolak untuk berkata tidak. Aku tau dia berusaha menolak tapi kami terlanjur menikmatinya. Hingga ritmenya perlahan melembut. Mengulum pagutan panas yang nyaris membuatku lepas kendali.

Sebelum makin jauh aku menghempaskan  hasratku ke bumi. Menatap mata papa. Wajahnya memerah dan berpeluh. Ada kabut nafsu di sana. Andai satu detik aku tak melepasnya aku yakin kami akan saling memangut.
"Kita impas! Papa nggak perlu merasa bersalah lagi karena menciumku kemarin." Aku membalikkan tubuh dan menggosok tanganku yang tidak dingin. Bicara dengan intonasi suara senormal mungkin. Menghalau semua rasa dan debar jantung yang sepertinya mau meledak.
"Ayo, aku sudah siap dengan perjanjian yang harus kita buat dan  kita sepakati!"

Papa berjalan ke depan lemari. Membuka jaket dan menggantungnya di sana. "Tenang aja Mika! Kita nggak perlu buat perjanjian. Kemarin mungkin kamu syok dan masih butuh waktu. Papa akan kasih waktu kamu dua minggu. Kamu harus belajar menerima semua keputusan papa!" ucapnya santai tanpa melihat wajahku.

Aku tidak bisa menahan lagi kaca-kaca yang hendak jatuh dari tadi. Kuusap dan menarik napas dalam. Kemudian berbalik meninggalkan papa tanpa berkata-kata.

***
[Semua bajuku sudah tidak ada disini.
Aku ingin pakaianku kembali!]
Pesan singkat kukirim ke nomor ponsel papa.

[Sesuatu yang sudah keluar dari rumah ini, nggak akan pernah kembali!]

[lalu... Apa papa mau melihatku nggak mengenakan pakaian malam ini? Baju ini sudah terasa lengket ditubuhku, Pa!]
Jika dia tidak membalas pesanku, aku sungguh akan membuktikan ucapanku!

Satu menit
Dua menit
Tiga menit
Kuremas ponsel gemas dan melemparnya ke sembarang tempat.
Ok, fine!

Bersambung.

Hot Papa He's Mine! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang