Semua mata tertuju ke sana, ke arah seorang pegawai wanita yang membawa wadah berisi gelas kaca yang kini sudah hancur berantakan di atas lantai. Punggung tangannya merah matang seperti tersiram minuman panas yang dibawanya. Beberapa pegawai lain menghampiri dan menolong. Wajah wanita itu tampak kesakitan.
"Makanya harus lebih hati-hati Mbak kalau berjalan. Terutama elu Mika." Gilang berguman.
Keriuhan yang semula terjadi kembali normal setelah situasi bisa dikendalikan.
Ponselku yang tergeletak di atas meja berkelap kerlip, aku ambil dan menekan tombol power agak lama. Karena nama papa yang tertera di sana. Kuletakkan lagi ponsel itu kesal.
"Habis dari sini kita mau kemana lagi?" ucapku sambil mengenakan kupluk sweater.
"Pulang lah! ini sudah hampir jam sepuluh."
"Gue belum mau pulang, Lang." Bisa kurasakan mataku mulai berkaca-kaca. Melihat penampakan wajah papa di ponsel tadi mengingatkanku pada saat dia berteriak. Jangan sekarang please jangan di depan Gilang. Tapi lebatan peristiwa di rumah kembali terbayang. Wajah papa juga wanita itu. Ah ... ada yang sakit di dalam sini saat papa menggenggam tangan wanita itu dan membentakku. Mataku dipenuhi kaca-kaca. Perlahan aku terisak.
"Mika, lu kok nangis, hey, why?" Gilang menghampiriku, menempelkan telapak tangannya ke kening ini. "Lu sakit? Tapi nggak panas! cuma gue traktir gini aja pake nangis segala."
Aku semakin terisak sekarang.
Tak peduli Gilang yang bertubi menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Dia memelukku. "Jangan nangis di sini ya, Neng, Abang malu, ntar disangka Abang nggak bertanggung jawab. Abang nggak akan lari!" ucapannya itu membuatku tak tahan untuk tidak memukulnya tepat di dada. Masih sempat saja meledekku di saat genting seperti ini!
Gilang meraih wajahku, menghapus air mata di pipi kanan dan kiri. "Kita ke taman Yuk. Semoga masih ada yang jual balon di sana," ucapnya sambil mengerlingkan mata. Gilang benar-benar menyebalkan. Kucubit perutnya hingga dia teriak kesakitan.
***
Kami tiba di sebuah taman yang masih lumayan ramai, hanya ada beberapa pasang muda-mudi yang menghabiskan waktu bercengkrama di kursi-kursi yang tersedia. Aku berdiri di jembatan lengkung dengan pencahayaan temaram, melihat pemandangan taman dari sini indah dan cukup menenangkan.
"Lu punya masalah Mika?"
"Gue nggak punya masalah, gue cuma kecewa."
"Kecewa kenapa? Sama siapa? Sama gue? Sama temen-temen gue?" Mimiknya menirukan gaya di video salah satu artis terkenal.
"Kecewa sama semua, ah udahlah nggak usah dibahas, gue mau cari ketenangan, lu bisa diem nggak? Cowok kok berisik banget!"
"Oke oke, sini kalau lu mau ketenangan." Gilang menarik tanganku, kami menyusuri jalan setapak menuju sebuah kolam besar. Kami berhenti tepat di sisi kolam dibawah pencahayaan lampu taman. duduk dan memperhatikan permukaan air yang jernih.

"
Lihat itu Mika!" Gilang menunjuk ke segerombolan ikan mas sebesar lengannya. Warna-warni berenang ke sana kemari seperti sedang menari.
"Sebenarnya dilarang kasih makan ikan di sini, tapi tadi gue udah siapin beli roti, nih coba lu lempar ke sana."
Aku melempar remah roti ke arah gerombolan ikan dan membuat mereka berebut kegirangan. Aku menikmatinya, menenangkan, aku lupa rasa takut yang sempat kurasakan. Ya aku takut, takut rahasia itu akan menyakitiku, memukulku dengan fakta yang bisa saja memposisikanku menjadi korban mengenaskan.
Tidak kuhiraukan Gilang yang mengajak pulang. Aku masih mau di sini. Kalau perlu hingga matahari terbit.
Kini Gilang menarikku. Dia membawaku paksa ke motor meninggalkan taman. waktu sudah jam setengah dua belas malam sekarang. Tamanpun sudah mulai sepi, hanya suara air mancur taman yang terdengar jelas bahkan dari kejauhan.
Angin malam menerpa wajahku, perlahan mata ini terasa berat, aku mengantuk dan memejamkan mata, yang kuingat terakhir kali hanya bersandar di bahunya dengan memeluk erat. Aku beruntung memiliki Gilang.
Tak terasa kami tiba, Gilang memintaku turun. Aku mengerjap saat melihat samar seseorang berdiri di depan gerbang.
Kami turun dan melepas helm, Gilang menghampirinya hendak bersalaman. Tapi malah sebuah tinju melayang ke wajahnya.
"Papa!" Aku berhambur menarik tubuh papa.
"Naik ke motor Mika! Sekarang!" Papa berteriak memerintahku untuk naik motornya. Aku bimbang. Menurut atau melerai mereka berdua. Dengan mata merah papa menatapku tanda perintah itu tidak bisa dilanggar.
Aku berjalan mundur dan hanya bisa memandangi wajah Gilang yang meringis kesakitan. Dia memegangi pipi kanannya. Tak ada gelagat ingin membalas sementara papa masih mencengkram jaketnya. Hanya terlihat mulut Gilang bicara yang kemudian menyebabkan tinju kedua papa melayang kembali menghantam wajahnya.
***
Aku langsung berlari ke kamar saat tiba di rumah. Tak peduli Papa ingin bicara dan memintaku menunggunya. Kukunci pintu dan berhambur ke tempat tidur dengan cucuran air mata. Nggak menyangka Papa bisa sekasar itu padaku. Juga setega itu menyakiti Gilang. Papa lepas kendali. Apa yang menyebabkan dia sebegitu tempramental. Apa salah Gilang?Suara pintu diketuk dari luar.
"Mika ... bisa buka pintunya sebentar?" suara papa sedikit melunak. Tapi tetap kuabaikan. Hingga rasa lelah tangisanku membuat mata ini terpejam.***
Hari ini malas beraktivitas, bahkan hanya untuk sekedar mengambil bantal guling yang terletak di ujung kasur. Aku masih ingin tidur.Samar-samar tercium aroma masakan papa. Sepertinya ini bau udang, berganti aroma masakan lainnya. Perutku mulai keruyukan. Tapi aku terlalu gengsi untuk turun ke bawah dan duduk makan satu meja dengan manusia yang saat ini sungguh menyebalkan.
Kutarik selimut demi menghalau bau masakan yang bisa saja membuatku mati tenggelam banjir air liurku sendiri.
Rupanya ini nggak berhasil. Wangi itu terlalu tajam. Aku bangun dan menghempaskan selimut dari tempat tidur. Melangkah menuju pintu. Langkah ini berhenti sejenak, memikirkan apa yang terjadi semalam membuatku hilang selera.
Biar saja aku mati kelaparan. Nggak ada makan satu meja dengan papa. Titik!Aku kembali ke tempat tidur bersembunyi dibalik selimut monokrom. Berlindung dari godaan aroma sedap yang menggoda lambung kosongku.
Samar-samar terdengar pintu kamar dibuka.
"Mika bangun. Makan dulu sarapan ini!"
Papa terdengar meletakkan sesuatu di atas meja kamar.Aku keluar dari persembunyian selimut tebal. Duduk sambil menatap punggung papa
"Kok Papa bisa masuk? Kan aku kunci!""Papa punya kunci cadangan Mika. Papa takut kamu mati kelaparan. Liat ini jam berapa?"
"Kalau cuma lapar nggak akan buat aku mati. Tapi rahasia papa yang akan buat aku mati penasaran."
"Makan dulu sana! Nanti kita bicara." Lalu papa keluar begitu saja. Tanpa mengecup keningku seperti biasa.
Aku bangkit dan menghampiri sarapan di atas meja. Menatap sajian yang dibawa papa. Apa setelah semalam marah-marah nggak jelas, lalu sekarang dia jadi orang yang pelit. Dari sini aku mencium aroma aneka masakan. Tapi yang datang hanya setangkup roti bakar keju coklat. Dia berusaha menyogokku dengan taburan keju serut yang banyak. Aku lapar tuan setelah menangis semalaman kenapa hanya ini yang datang? Tunggu dulu. Di sisi piring ada kertas kecil berwarna merah muda. 'Maafin Papa ya, Mika. Setelah perutmu kenyang ayo kita bicara.'
Senyum kecil tersungging di bibir. Baiklah! Aku akan menghabiskan semuanya. Menelan mereka tanpa sisa. Aku yakin pembicaraan nanti akan panjang dan butuh tenaga extra. Mikaela Varelly akan sangat antusias mendengarkan rahasiamu tuan William.
.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Papa He's Mine!
RomanceMika seorang gadis yang diadopsi seorang pria setelah ibunya meninggal. Hidup dan bahagia bersama. Kemudian di ulang tahun nya yang ke 17 harus mendapatkan kejutan bahwa Papa yang mengasuh dan menyayanginya memiliki sebuah rahasia. Rahasia yang tida...