Hot Papa 6

15.2K 424 3
                                    

Dress biru selutut dengan tali pada kerahnya jadi pilihan. Aku mematut diri di depan cermin. Mengulas make up tipis demi menyamarkan bekas sembab semalam. aku bergegas keluar. Sepi. Papa tidak ada, Om Reno juga. Di mana mereka?
Kususuri tangga, melihat ke ruang tamu. Kosong. Lalu melihat ke luar pintu. Tapi tiba-tiba sebuah tangan besar menutup mataku.

"Papa? Ih, apaan si, Pa lepasin!" Aroma tubuhnya sudah bisa ditebak ini Papa. Aku meronta.

"Ikutin suara Papa ya Mika." Papa melangkah perlahan memberiku instruksi ke mana kaki harus melangkah. Kupegang lengan kekar papa agar tetap seimbang. Cukup jauh, dan di sini lah mataku mulai terbuka. Sinar matahari terlalu menyilaukan setelah papa tutup tadi. Aku berdiri di hamparan rumput taman di sisi kanan kolam renang.

Happy birthday to you ....
Sebuah lagu yang mereka nyanyikan dengan tepukan tangan dan senyum yang lebar. Cukup ramai ternyata, ada Mora, Miss Alea, Om Reno juga Bibi Salma pengasuh sekaligus kepala asisten rumah tangga kami. Mereka hadir dengan membawa sebuah kue tart coklat bertuliskan namaku dan angka 17. Angka sakral bagi siapa saja yang pernah hidup di dunia.

"Make a wish Mika," ucap Papa sebelum aku meniup lilinnya. Kupejamkan mata dan meraba apa yang benar-benar kuinginkan sebenarnya.

Setelah mengucapkan harapan dalam hati. Kutiup lilin ini penuh haru. Tujuh belas tahun. Itu artinya aku bukan anak-anak lagi. Gadis dewasa yang berhak menentukan pilihan apapun itu.

Semua memberiku selamat. Cipika-cipiki dan papa mempersilakan kami untuk mencicipi hidangan yang tersaji di meja kayu taman.

Pesta sederhana. Hanya ada orang terdekat saja. Lagi pula aku tidak terlalu suka keramaian. Ini cukup untukku. Aku bahagia.

"Pa ... thank you so much." Aku memeluk pinggang Papa. Hanya dia satu-satunya yang kumiliki dulu sekarang dan selamanya.

Papa membalas pelukan hangat dengan kecupan di pucuk kepalaku.
"Udah yuk, kita makan."

Semua menikmati masakan istimewa Papa. Semua yang tersaji tampak enak dan menggugah selera. Naya bahkan belum menelan makanan di mulut tapi sudah memasukkan Hot spicy chiken wing suapan berikutnya.

Miss Alea duduk di sisi Papa. Mereka tampak akrab bercengkrama. Sesekali dia menutup barisan gigi putihnya saat tertawa. Risih melihat keakraban mereka berdua. Berat rasanya harus menyapa wanita itu di hadapan Papa. Lagi pula apakah dia sedang tidak ada jam kelas. Atau mungkin bolos mengajar? Sejujurnya, aku rasa tanpa kehadirannya pun acara ini akan tetap berjalan sempurna.

***

Setelah acara dadakan itu selesai, masing-masing pamit pulang. Termasuk Om Reno dia juga sedang ada urusan katanya. Bibi Salma repot merapihkan semua. Hanya tinggal aku dan papa. Kami berdiri berdampingan melepas kepergian mereka semua.

"Mika hari ini Papa kosong. Nggak ada jadwal apapun. Hari ini full untuk kamu. Kamu mau ke mana, Sayang," ucap papa sambil duduk di kursi kayu. "Kita bisa naik mobil baru kamu."

Aku menggeleng. Ada yang lebih penting menurutku.

"Ayo dong Mika ... kamu masih ngambek sama Papa? Papa minta maaf soal semalam." Papa menatap sendu ke dalam mataku. "Pokoknya hari ini kita keluar."

Aku masih terdiam. Sementara Papa masih terus memasang tampang cemberut yang dibuat-buat. Aku sudah nggak marah, justru pose papa membuatku gemas. Aku lompat mendekatkan wajah kami.
"Oke! Bagaimana kalau kita ke Dufan. Kita cek apa nyali papa sebesar otot-otot ini?" Kubulatkan mata sambil menunjuk otot bisep lengannya. Sejujurnya aku pun belum pernah ke sana.

****
Seharian kami akan menghabiskan waktu bersama. Hanya aku dan papa. Menaiki wahana yang menguji adrenalin. Halilintar. Dengan percaya diri aku menaiki wahana ikonik Dufan. Aku rasa ini hanya akan memakan waktu kurang dari lima menit. It's fine!.

Wahana ini tidak terlalu menegangkan. Duduk di sisi papa. Aku masih bisa tertawa saat kereta ini berjalan perlahan ke atas. Terlihat pemandangan kota selama Sepersekian detik. Namun tiba-tiba kecepatan kereta ini berubah secepat kilat menghujam kebawah dan meliuk-liuk gila. Kami teriak sekuat tenaga. Kepalaku terhempas ke kanan dan kiri.

Aku masih hidup saat turun dari kereta setan itu. Gengsi kalau harus menyerah di wahana pertama yang kami naiki. Kutahan rasa mual yang menyerang.

Next. Hysteria. Wahana yang melemparmu ke langit. Terlihat gedung pencakar langit begitu dekat, bahkan kau merasa begitu dekat dengan Tuhan.

Ekspektasi nggak sesuai kenyataan. Nyawaku masih selamat namun sukses membuatku pucat dan perut terasa nggak karuan. Detak jantung ini rasanya berdetak seratus kali lipat lebih cepat dari biasanya. Papa terbahak saat melihat reaksiku, namun langsung khawatir saat sadar sepertinya aku butuh segera pertolongan pertama. Sementara Papa mengelus pundakku demi memininalisir rasa mual, juga memberi air mineral.

"Ayo naik!" Papa membungkuk di depanku.

"Aku bukan anak kecil lagi, Pa!"

"Udah ayuk naik!"

Akupun naik ke pundaknya. Dia menggendongku di belakang. Berjalan perlahan. Nggak peduli semua mata yang menatap nggak biasa. Kusandarkan kepala di pundaknya.
"Aku mau pulang," Bisikku lirih sambil sembunyi dari tatapan orang-orang.

Dia menggeleng. Kami mencari tempat untuk istirahat sejenak. Dia memberiku waktu untuk duduk di bawah pohon. Papa berjanji setelah ini kami hanya akan mencoba wahana ringan.

Semua menyenangkan. Arung jeram, bom-bom car dll. Terakhir aku meminta papa berhenti di wahana Turangga rangga atau komedi putar. Patung Kuda-kuda berhiaskan cahaya lampu begitu menarik perhatianku. Tanpa malu Kami naik bersama. Papa bertingkah konyol dengan berbagai macam gaya di atas kudanya. Tawa lepas bahagia.

Turun dari wahana kuda dia menggandeng tanganku. Masih tersisa tawa saat aku juga mengeratkan genggaman. Entahlah ... ada yang aneh di dalam sini. Di hatiku.

"Mika, Papa lupa kita belum selfie. Dari tadi hanya foto kamu yang penuhin handphone Papa."

Dia mendekatkan tubuh. Aku tersenyum dalam rangkulan tangan papa. Kutatap sekilas wajahnya, ada yang berdetak tak biasa dalam dada. Pose ke dua muka jelek dengan aba-aba darinya yang menghasilkan ekspresi konyol kami berdua. Jepretan ke tiga, aku sudah nggak tahan lagi. Entah kenapa seakan ada magnet yang menyengatku ingin melakukan lebih. Aku mencuri kecup pipi kanannya. Entahlah ... apa yang kurasakan saat ini berbeda dari biasanya. Kecupan itu adalah Kecupan seorang gadis dewasa. Bisa kurasakan wajahku menghangat sekarang. Lagi pula siapa yang menyuruh Papa begitu mempesona. Ini salahnya!.

Aku menekan dada yang detaknya tak juga mereda. Aku harap ini hanya sesaat karena terbawa suasana.
"Sadar Mika ... sadar!" Gumamku berusaha bertahan untuk tidak tergoda pesonanya.

Mata ini nggak bisa kupejamkan walau sesaat. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam dan menatap lurus ke depan. Untuk pertama kalinya aku salah tingkah di dekat Papa.

Kuraih ponsel dari tas kecil dipangkuan. Semoga bisa meredam rasa grogi yang kurasakan. Sekedar ingin berbagi kebahagiaan pada teman-teman di Instagram. Aku membuka kunci layar ponsel. Ada tujuh belas kali panggilan tak terjawab dari Gilang. Tumben ... nggak biasanya dia menelepon tanpa meninggalkan pesan. Ada apa? Sepertinya penting. Segera kutekan panggilan balik. Tapi handphone-nya sedang tidak aktif.

Hari sudah mulai gelap. Aku tidak mengenali daerah ini. Ini sepertinya bukan arah pulang ke rumah.

"Pa, kita mau ke mana?"

"Kita mau ke tempat spesial. Nggak ada yang bisa ganggu kita Mika." Papa menjawab datar dengan tatapan tetap lurus ke depan.

Keningku berkerut mencerna jawaban papa.

"Iya, tapi kita mau ke mana?"

Tak ada jawaban, hanya mobil kami mulai memasuki jalur parkir Hotel Grand Senopati. Apa sebenarnya maksud papa? Kita mau ngapain di hotel bintang lima seperti ini?.

.
Bersambung.

Hot Papa He's Mine! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang