13. PELEPASAN

120 43 13
                                    

Happy reading guys!

⭐⭐⭐⭐

Dari atas gedung pencakar langit ini, tampak jelas bagaimana kelap-kelip lampu yang menerangi setiap sudut kota.

[Cukup]

Laki-laki itu hanya diam, menggenggam ponselnya dengan pandangan terus menatap lurus pada pemandangan malam kota Malang.

[Kalo kamu mau dia tetap ada, tolong beri dia jeda]

"Sampai kapan?"

[Bersabarlah sayang, kita tau ini tidak mudah]

Suara wanita dibalik sambung telepon itu mencoba menenangkan.

"Sekarang?"

****

Tak ada cahaya. Suasana tetap kaku dan terasa tegang semenjak siang. Gadis itu, duduk di pojokan antara sudut tempat tidurnya. Dengan tatapan kosong, dia menatap lampu hias yang berada di atas nakas. Ruangan sengaja tidak diberikannya cahaya.

Riuh telapak kaki terdengar. Seseorang masuk ke sana. Jona. Laki-laki itu membawa nampan dengan secangkir coklat panas dan nasi lengkap dengan lauk pauk di atasnya.

"Aku bawain makanan kesukaan kamu, pasti lapar kan?"

Ia duduk tepat di hadapan Aqila dengan senyum yang menampakan lesung pipinya. Biasanya Aqila akan menekankan telunjuknya di lubang itu.

"Ada coklat panas, dengan susu ekstra banyak, Bude Surti yang bikin, kalo gak diminum sekarang nanti di habisin Asya," ujarnya cengengesan sembari mengangkat gelas itu, menggoyang goyangkannya agar Aqila melihat.

Dengan sengaja Aqila menepis gelas yang hendak diberikan padanya. Hingga isi dalamnya berserakan di lantai. Ia merasa tak acuh dengan apa yang telah dilakukannya.

Jona menghembuskan nafasnya pelan. Lantas, mencoba kembali membujuk gadis itu. Agar ada sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Meski dalam keadaan marah setidaknya Aqila tidak membiarkan perutnya kelaparan. Marah juga membutuhkan energi.

"Oke, berarti gak mau minum ya? Gimana kalo makan? Pasti laperkan?"

Aqila menepis kembali sendok yang hendak menuju mulutnya. Butir nasi berserakan menyusul tumpahan coklat sebelumnya.

Tidak sampai disitu, kali ini Aqila menatap Jona sangat marah. Ia mengambil piring di atas nampan lalu melemparnya sembarang. Suara pecahan itu, membuat orang-orang di ruang tengah terperanjat.

Jona menatap Aqila yang masih menatapnya dengan kekesalan. Dari mata gadis itu, Jona sudah bisa membaca alasan kekalutan emosi Aqila beberapa hari ini dan puncak luapannya siang tadi. Ia memegang puncak kepala Aqila, lalu beranjak meninggalkan gadis itu. Bela yang sedari tadi mondar mandir langsung mendekati Jona saat laki-laki itu keluar dari kamar.

"Gimana, Jon?"

Pertanyaan dari Bella pertama kali menyambutnya. Aci, Vela, Asya dan Dania seakan mempunyai pertanyaan yang sama dengan Bella.

Tanpa menjawab, Jona melebarkan langkahnya ke dapur. Mengambil kembali segelas minuman coklat. Dan membawanya menuju kamar Aqila.

Dengan posisi yang sama saat ia tiba sebelumnya, Jona kembali menyodorkan minuman kepada Aqila. Namun, Aqila menolak dan melempar gelas dengan sekuat tenaga. Jona mengelus kepala gadis itu dan menatapnya lembut.

"Masih banyak stok minuman di dapur. Kita bisa lakukan ini sampai pagi."

Laki-laki ini masih tetap tersenyum menghadapi Aqila. Tidak ada sedikitpun kekesalan yang tergambar di raut wajahnya. Ia beranjak kembali dan mengambil minuman lagi.

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang