12. HURT (1)

89 43 29
                                    

Happy reading guys!

☆☆☆

Marah karena rasa kesal, mudah dicari obatnya. Tapi, marah karena rasa kecewa, apapun obatnya dan bagaimanapun mengobatinya, tidak akan pernah sembuh. Dia akan terus tumbuh, sekalipun hati menua dan lelah.
____________________________________

Kehidupannya berubah 360 derajat. Setelah insiden di rumah sakit itu, Aqila menjadi lebih tertutup dan sibuk dengan dirinya sediri. Seakan Ia ingin menarik diri, tidak mau berinteraksi banyak dengan siapa pun. Bahkan, tiga hari Aqila sengaja tidak masuk kuliah. Untung saja, dosen juga tidak masuk, banyak kegiatan rapat dadakan yang di adakan di Universitas. Sehingga civitas akademik ikut terjeda.

Suasana cafe Brawijaya seperti biasa. Hiruk pikuk. Bagian pojokan di hadapkan dengan kaca sebagai pembatas bangunan antara bagian dalam dan luar.
Merupakan spot tongkrongan favorit. Akbar dan Anto tampak lebih dulu menjajahi meja di sana.

"Nah, itu dia manusianya," sahut Anto dengan suara khasnya. Gemulai.

"Wih, duduk mbak bro." Akbar menarik kursi di sebelahnya.

Beberapa menit setelah kedatangan Aqila dan Bam. Perkumpulan itu tampak seperti di kuburan. Hening. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Begitulah era modern sekarang, teknologi sudah menjajah hangatnya komunikasi secara langsung. Seperti yang terjadi saat ini. Badannya saja yang bersamaan, tapi mata dan pikirannya terfokus pada elektronik genggam itu. Mungkin gajah kentut sekalipun tidak akan sadar.

"Qil, lo kenapa?" Anto angkat suara, memecahkan keheningan.

"Gak kenapa-napa," jawabnya dengan tatapan yang masih terlekat ke layar ponsel.

"Gak usah boong." Akbar menimpali.

"Lo, kalo ada masalah cerita dong. Diam-diam bae," sambung Anto meletakan ponselnya di atas meja.

"Mending ngopi," Bam beranjak dari duduknya menuju meja kasir.

"Nah, ide tu." Cetus Akbar setuju, "Yang biasa bro."

Bam mengacungkan jempolnya ke arah Akbar.

"Udah tiga hari." Anto menunjukkan tiga jarinya ke Aqila. "Lo, gak ke kampus."

"Woi, ya elah malah bengong," Akbar menepuk pundak Aqila yang sedang mengalihkan pandangannya dari Anto pada hamparan jalanan dan jejeran tanaman hias di depan cafe.

"Lagi gak mood aja gue, lagi males."

Gadis itu memposisikan duduknya agar nyaman.

"Gak mood karena ada masalah kan?" sewot Bam yang sudah kembali.

"Kita tu tau banget Qil. Udah hampir tiga tahun kita barengan. Meskinya lo gak mood karena jenuh kuliah atau apapun, lo pasti bakal pecicilan dan ngusilin orang buat ngilangin stres," Akbar menatap Aqila dalam. Namun, Aqila yang berpangku tangan menahan dagunya, asyik dengan game cotton candy di ponselnya.

"Tapi, ini lo kebanyakan diem melempem kayak pulut. Pasti ada apa-apanya," tambah Akbar mengacaukan permainan yang sedang dimainkan Aqila. Gadis itu mendengus sebal.

"Nah, bener tu man. Yang di depan kita ini gak kayak Aqila," protes Bam. Telapak tangannya mengadah menunjuk Aqila.

"Jona juga sampe nyari-nyari lo ke kelas, ke lab sampe ke got-got kampus. Tapi gak nemu," imbuh Anto dengan ekspresi seriusnya tapi menggelikan.

"Liat mimik wajahnya itu kasihan, gak pernah tu anak kayak begitu,"Akbar membenarkan pernyataan Anto.

"Dia bilang nomor lo juga gak aktif. Asya juga bilang di rumah pun lo nya kagak mau nemuin dia. Lo ngurung diri di kamar," Bam mendekatkan posisinya pada Aqila. Menanti jawaban yang memuaskan rasa penasarannya.

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang