4. TRAGEDI BALADA

157 92 69
                                    


Hujan belum mereda saat senja menyungkurkan wajahnya. Pijaran aspal di sepanjang jalan suhat yang gemerlap terkena lampu jalanan, menguak romansa hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang memijaki tubuhnya. Aqila berlari menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Mencari tempat berteduh. Tenda depan guesthouse. Barangkali ia bisa berteduh disini sampai hujan berhenti.

Terlihat sosok anak laki-laki juga berteduh disana. Sama halnya seperti Aqila. Ia memutuskan untuk menunggu disana. Menanti agar tuan hujan bermurah hati menghentikan rintikannya hingga bisa melanjutkan kaki untuk menapak pada tubuh aspal dengan berpayungkan jingga senja. Anak itu mengenakan kaus berwarna coklat muda kumal dan celana pendek merah diatas lutut menyelimuti tubuhnya, mulai menggigil tertempa udara dingin yang semakin berpacu. Lembar demi lembar koran dalam kantong kresek transparan yang dibawanya mulai melembab dalam pelukan.

Aqila berdiri tak jauh dari tempat anak laki-laki itu. Dalam hati ia terus mengutuk apa yang sedang di alaminya saat ini. Terutama kekesalannya terhadap Alan yang terus mengganggunya di kampus. Belum lagi teror yang di lakukan Alan kepadanya di WA dan seluruh akun sosmednya. Ponselnya berbunyi. Pikiran yang mengitari kepalanya sedari tadi pun buyar seketika. Ia merogoh saku jaketnya.

"Dimana?"

"Di depan guesthouse De Laia."

"Ka...," sambungan telpon terputus, Aqila menjauhkan ponselnya dari telinga dan mengecek layar. Pantas saja, ternyata ponselnya habis batrai. Aqila berdecak.

****

Gelap telah melalap jingga senja. Aqila masih nyaman disana, sesekali ia melihat jam yang ada di tangannya, sudah pukul 8 namun belum teduh juga. Anak laki-laki yang bersamanya tadi tampak menjajakan korannya, Aqila melihatnya dari kejauhan. Mengunjungi setiap kaca mobil yang berhenti saat lampu merah menyala. Tak diperdulikannya dingin yang mengigit setiap inci pori kulitnya.

"Korannya Pak?" Ujarnya saat mendatangi setiap kaca mobil yang berbaris rapi di sana.

Dari banyaknya jumlah koran yang ada pada dekapnya, Aqila memprediksi sejauh ini baru sedikit koran yang sudah terjual.

"Dek." Panggil Aqila melambaikan tangannya mengajak agar anak itu mendekatinya.

"Ya kak?"

"Korannya berapa?"

"3000 kak."

Aqila mengeluarkan dompet dalam ranselnya.

"Nih," Aqila memberikan lembar uang merah.

"Gak ada kembaliannya kak."

"Udah ambil aja buat jajan," Aqila menolak koran pemberian anak itu saat ia hendak memberikannya, "Gak usah."

"Tapi kak," suaranya tampak sungkan.

"Udah ambil aja." Aqila mengelus rambutnya yang basah, "Sebaiknya kamu pulang, jangan jualan, hari hujan, udah malam juga, nanti sakit."

Anak laki-laki itu tersenyum, mengutarakan ucapan terimakasihnya dan meninggalkan Aqila. Aqila tampak bahagia, ada ketenangan yang tak bisa ia jelaskan. Benar, ketika kita bisa memberi dan menolong orang lain ada perasaan nikmat tersendiri.

****

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, hujan masih tetap sama. Awet. Sesekali Bella mengintip ke jendela, melihat barangkali Aqila sudah ada di pagar rumah. Begitu gelisah, sudah jam segini Aqila belum pulang.

"Nomornya masih gak aktif." Dania mencoba menghubungi Aqila sekali lagi, siapa tau nomornya sudah aktif. "Gimana kak? Hujan tambah deres lagi."

Mendengar pernyataan Dania, menambah kekhawatiran Bella "Tadi bilangnya dimana?"

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang