19. AQILA X DANIA

55 22 5
                                    

Happy Reading Guys!
☆☆☆☆

"Setelah hari itu, gue jadi sering ketemu tanpa sengaja sama Revano. Gak ada direncanain. Hingga Revano minta tolong gue buat nyiapin surprise permintaan maafnya buat pacarnya. Gue benar-benar gak tau siapa pacar Revano. Karena ngerasa gak enak juga nanya waktu itu, secara gue orang baru dalam hidupnya. Tapi, kejutannya gagal karena pacarnya ngabari ada urusan mendadak yang gak bisa ditinggal. Gue gak tega lihat wajah kecewanya dia. Tanpa, gue minta dia curhat masalah pacarnya. Dan, gak berhenti di hari itu aja, berkelanjutan sampai seterusnya, gue selalu dengerin dan ngasih masukan. Tanpa, gue sadari perasaan nyaman tumbuh seiring berjalannya waktu."

"Bukan cuma gue, tapi juga Revano. Hingga akhirnya, kita sama sama lebih mementingkan perasaan dibandingkan lihat resikonya. Rasa buta yang udah nyakitin seseorang di hari spesialnya. Lo, juga ceritakan malam itu ke gue tentang pacar lo yang nyatain rasa ke cewek lain di hari ulang tahun lo,"

Dania mengusap air matanya yang jatuh. Mengingat semua kejadian itu.

"Jujur, disaat lo curhat, gue merasa tersindir dan ngebayangin kesedihan pacar Revano sama kayak lo yang nangis malam itu. Perasaan bersalah gue mulai muncul, apa yang gue lakuin ini benar? Pertanyaan itu yang selalu menghantui gue. Bersamaan dengan itu, sosok pacar Revano menghilang. Padahal Vano berniat meluruskan semuanya."

Dania memang mirip dengan Bella, dia tipikal perempuan yang bisa memberikan kenyamanan bagi seseorang yang mendekatinya karena kedewasaan dan pemikiran yang matang. Selalu memberi pandangan positif. Itu terlihat dari sikapnya yang tenang. Berbeda jauh dengan Aqila.

"Secepat itu hati berpindah," ujarnya miris melihat hidupnya.

"Lo gak sepenuhnya salah. Vano juga gak sepenuhnya salah. Kunci utamanya ada di gue, masalah itu datang karena gue."

Logikanya mulai bekerja dengan baik. Setelah, berhasil menarik kesimpulan dari pernyataan jujur Dania.

"Gue bisa lupain kalo Vano lebih memilih berpindah. Karena gue terlalu egois dan mikirin diri sendiri. Keinginan gue sendiri. Gue sadar itu. Ikhlas gue. Daripada dia sama gue, kayak tersiksa. Gak pernah ketawa lepas seperti saat dia bersama lo. Jauh sebelum persiapan kejutan yang lo buat sama Revano, gue udah nyatain putus sama dia karena masalah sepele, dia gak datang dihari annyversary, padahal gue udah nyiapin semuanya. Kekanakan,"

Ia mengambil nafas beberapa saat sebelum melanjutkan ucapannya.

"Kesalahannya dari awal udah ada sama gue. Gue ngikutin apa yang emosi gue mau tanpa gue sadar itu hanya sesaat dan merugikan, makanya gue gak datang. Karena gue tau Vano nggak terima dengan keputusan sepihak itu. Lambat laun, amarah gue mereda dan gue nyesal udah mutusin Vano, lo tahu cewek kan. Lain dimulut, lain dihati. Meski gue tahu ucapan itu gak bisa ditarik. Tapi, gue pengen mastiin Vano baik-baik aja, dan saat itu juga gue lihat dia nyatain perasaan ke cewek lain dan gak disangka sangka, ternyata itu Lo. Nia," cetusnya menekankan nama Nia.

"Hati gue bener bener sakit. Yang membuat gue marah saat itu, baru putus beberapa minggu, dia udah dapat pengganti. Diluar dugaan, secepat itu dia gantiin posisi gue. Dan gue narik kesimpulan, dia pasti udah lama duain gue, gak tau pemikiran itu datang dari mana. Itu sebabnya gue milih buat menghilang. Lari dari kenyataan."

Air mata jatuh bebas dari matanya. Aqila mencoba tersenyum. Dia menang. Bisa mengutarakan sesak yang selama ini tersimpan. Jauh sebelum Aqila, Dania sudah menangis lebih dulu.

"Yang gak bisa gue lupain. Dan buat gue kecewa. Kenapa lo gak jujur sama gue, saat lo tau pacar yang sering Revano ceritain, itu gue. Dan laki-laki yang gue ceritain ke lo, itu Revano. Bahkan Jona sampai ikut, seakan nutup kesalahan lo, lindungin lo. Dia tu orang dekat gue, Nia. Lo juga. Tapi, kenapa tega nyembunyiin itu dari gue? Kalo kalian mau jujur dari awal, gue pasti lebih bisa nerima, pasti ujungnya gak akan kayak gini, gue bener-bener sakit hati. Satu tahun kalian jadiin gue orang bodoh, nipu gue."

Ucapannya mulai terbata-bata, karena menahan sesak dan mencoba melawan dirinya sendiri.

"Cara kalian melindungi perasaan gue itu salah. Gak pengen gue, orang ngelindungi tapi akhirnya orang itu alasan buat gue hancur. Orang yang gue percaya. Paling gue sayang. Udah gue anggap sebagai sodara. Ngelakuin ini sama gue. Benar kata orang, yang punya peluang besar buat nyakitin dan kecewain kita, itu orang yang paling dekat dan paling kita sayang."

"Gue minta maaf Qil, g-gue tahu kalo gue salah. Gue cuma takut, lo benci sama gue. Jangan salahin Jona, karena gue yang bersikeras agar Jona nutupin ini sampai gue siap."

"Dengan buat gue kayak keledai bodoh gitu? Sebodoh dan senaif itu gue di mata kalian?"

"Qil," Ia menepis tangan Dania.

"Udahlah, gue juga udah denger ceritanya dari Jona. Sejak kapan dia tahu hubungan lo sama Vano dan kenapa kalian tega ngebohongin gue. Dia sampai ngebujuk kedua orang tua dan abang gue buat menerima maafnya. Gue juga punya hati dan gak tega, setelah nasehat yang papa gue kasih. Gue samperin Jona ke rumahnya, lo tahu apa yang terjadi hari itu?"

Wajah Aqila mulai cerah dan senyum cengiran khas jahilnya terbit. Membuat Dania menjadi senang. Peluang hubungannya yang akan segera baik terbuka lebar, mendapati ekspresi gadis itu seperti dulu. Saat Ia mengobrol seperti biasa dengan Aqila. Dihapusnya air matanya dan bersiap mendengarkan.

"Apa?"

"Dia ngurung diri di kamar kayak anak perempuan. Banci banget gak sih?"

Aqila tertawa lepas begitu juga Dania, suasana kembali menghangat. Itu yang sedang Aqila lakukan. Berusaha melawan rasa sakitnya yang masih basah. Dia senang melihat Dania ikut tertawa. Suasana yang sangat dia rindukan. Bahkan lebih seru, jika ada Asya, Aci, Vela dan Bela disini.

"Beneran Nia, susah banget buat ngebujuk dia keluar. Sebenarnya gue yang ngambek atau dia?"

"Dasar banci."

"Mamanya juga cerita, kalo dia sampe gak mandi, gak makan, gara-gara aku diemin."

"Terus gimana ceritanya dia keluar?"

"Gue ancam gak mau main boneka sama dia."

"Dia masih main boneka? Kan laki?" kaget Dania.

Jauh diseberang sana. Ada seseorang yang tersenyum sambil mendengarkan ponselnya.

"Ngapain lo senyam-senyum, Si Rika udah jalan dari tadi. Ha, gue tau nih."

Ferry mencoba menebak apa yang ada di dalam kepala Jona.

"Ganggu aja lo, sana kerja," rungutnya mendorong bahu Ferry untuk meninggalkannya.

"Iye, merintah mulu lo."

Jona mencari kontak di ponselnya.

"Thanks ma bro."

"Macama cintah," ucap laki-laki diseberang sana.

Jona merasa geli dengan ucapan itu. Menutup ponselnya dan kembali melaksanakan tugasnya. Suaranya terdengar lantang dan bersemangat memberi aba-aba.

****

"Siapa?" tanya Odang pada Andi.

"Cewek gue."

"Ngimpi lo tong," sambung Vano.

"Gue nanya orangnya siapa bengek. Namanya?"

"Jona."

"Buset. Kelamaan jomblo jadi ngenes akut lo, sampe milih jeruk makan jeruk. Ikh," celetuk Vano sembari menggidikan bahunya.

Erika yang mendengar hal itu ikutan merasa merinding. Andi langsung peka akan hal itu.

"Gak Rik, gue normal. Serius. Jona juga. Tes aja."

Odang dan Vano menoyor kepala Andi bersamaan.

______________________________________

BABAK BARU AKAN SEGERA DIMULAI.

NANTIKAN DI NEXT PART ~

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang