BROMO (2)

37 19 7
                                    

Maapken Author yang lama update,
Semoga masih demen sama OXYGEN yah ~

Kalo ada yang mau protes silahken DM ya, maapken akuh.

Happy Reading!

☆☆☆☆

"Pembagian tim, kita lakukan dengan cara undian, jadi gak ada yang merasa pembagian kelompoknya gak adil. Gak berkumpul sama teman satu kubunya," ujar Pak Ade dengan suara nyaring yang keluar pada toa.

Secara bergiliran mahasiswa mahasiswi mengambil kertas dalam wadah yang dijalankan dengan cara mengopor.

"Sudah. Oke. Sekarang kalian buka gulungan kertasnya dan langsung bentuk kelompok sesuai angka yang tertulis disana," titah Pak Ade kembali.

Suasana menjadi krasak krusuk, setiap orang sibuk mencari kelompoknya.

Dua Dua

Delapan mana bro, delapan.

Yuhu, gue terlantar. Number limo.

Ada suara tawa yang terlepas ke atmosfer karena menemukan teman seperjuangannya. Ada yang biasa saja. Sampai wajah pasrah menerima keadaan. Seperti Aqila misalnya. Revano, Dania, Odang, Erika menjadi satu tim.

Begitulah, terkadang sesuatu yang kita hindari selalu muncul tanpa diminta. Berbanding terbalik dengan yang diingini, sampai jungkir balik mencari tidak akan muncul ke permukaan.

Apes

Umpat gadis itu dalam hati.

"Maaf Pak," sapa Andi terengah-engah, mengalihkan fokus Pak Ade yang sedang memberi intruksi kepada tim panitia lapangan.

"Darimana saja kamu?"

"Ng-"

Ia bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Pak Ade. Diliriknya Aqila. Tapi, gadis itu sibuk meratapi nasibnya. Sehingga sinyal yang diberikan Andi tidak sampai padanya.

"Andi. Andi."

Pak Ade memijat pelipisnya, sudah tahu dan paham dengan gelagat mahasiswa yang seperti itu. Menjawab lama karena sedang memikirkan alasan yang akan menggelitik perutnya.

"Dari angka satu sampai sepuluh mana yang kamu pilih?"

"Delapan Pak."

"Yang kelompok delapan mana?" teriak Pak Ade ditengah tengah hiruk pikuk kumpulan mahasiswa.

****

Erika terlihat mulai bosan, dengan situasinya sekarang. Apakah dia berjalan terlalu cepat? Atau teman-teman yang lain memang lambat? Hanya ada Aqila di depannya. Ia mencoba mencari pengalihan untuk tidak kembali bergulat dengan gadis itu, seperti tempo lalu yang Ia lakukan di kantin kampus. Benar-benar memalukan.

Hamparan rerumputan hijau mendoktrin pikirnya untuk merebahkan diri disana, memandangi tempat ini selama yang Ia bisa. Bahkan membangun villa kecil di sana. Bromo memang menakjubkan. Dengan sesekali memperhatikan punggung Aqila, Ia mengamati pemandangan yang tersuguh. Tak ada angin, tak ada petir, tak ada badai, terlintas begitu saja pertanyaan yang membuatnya mau tidak mau harus mendekati gadis menyebalkan itu.

"Lo, tadi kenapa?"

Erika mensejajarkan langkahnya di samping Aqila. Berharap sapaannya di sambut hangat. Meski keberhasilannya hanya 1% saja, 99% lagi? Begitulah. Ia sendiri bingung kenapa sahabat Jona ini tidak menyukainya.

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang