6. 1 + 1 SKS (Bagian 1)

134 70 71
                                    

Kemarin, hari ini dan besok tidak ada yang pasti. Kejadian dalam hidup terus berputar, ingat terus bertukar. Semesta hanya mengaitkan bagian-bagian dari keduanya yang terpisah, sebagai jawaban dari keputusan. Entah,itu nantinya sebuah kebaikan atau penyesalan.

________________________________________________________________________

Alan beberapa kali menyesap rokoknya dengan tatapan kosong menatap langit di rooftop gedung fakultas. Menghembuskan hingga asapnya mengepul ke udara. Semilir angin menerpa wajah dan membuat helaian rambut gondrongnya berserakan mengikuti haluan. Pemandangan kampus terpampang jelas di depannya. Memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di sana.

"BANG ALAN."

Teriakan itu membuat Alan tanpa sengaja menjatuhkan rokoknya. Alan mendengus sebal. Menatap datar wanita yang berjalan mendekatinya.

"Masih hidup." Muka Sarma memerah, rahangnya mengeras. Laki-laki yang sudah dicarinya beberapa hari yang lalu, akhirnya menampakan batang hidungnya hari ini.

Sarma Dwita. Mahasiswa kedokteran yang menjabat sebagai wakil presiden mahasiswa. Terkenal sebagai kakak senior yang galak, apalagi pada saat mastama maba. Tapi, sebenarnya dia orang yang friendly. Pembawaannya saja seperti orang PMS setiap hari.

"Telpon gak di angkat, WA gak dibales. Udah dua hari jadi makhluk gak kasat mata, kemana aja?" Mata Sarma melotot menatap wajah Alan yang seolah tidak peduli dengan luapan amarahnya.

Alan mengambil pematik api di saku celananya.

"Kerja," ujarnya sembari membakar rokok. Menyembunyikan api dari pematik dengan tangannya, agar tidak padam terkena hembusan angin.

"Kerja, kerja. Kerja-in anak gadis orang maksudnya." Celetuk Sarma melemparkan map ke dada Alan. Alan membuka map itu dan membolak balikan lembar di dalamnya sekilas. Ia mengangkat sebelah alisnya, seakan bertanya.

"Itu laporan seluruh kegiatan mahasiswa di kampus. Rapat jam 2 di gedung rektorat. Kebakar telinga gue dengerin omelan Pak Bakar. Jangan mentang-mentang gue wakil, abang seenak jidat ngelimpahin semuanya ke gue. Ingat, JAM DUA, jangan asik grepek grepek!"

Alan tertawa kecil melihat ekspresi Sarma dengan beberapa kerutan yang berkumpul pada satu titik di antara alisnya. Ingin sekali rasanya Ia menjitak kepala gadis itu.

"Sini." Alan memerintahkan Sarma untuk mendekat.

"Ngapain?" nada suara Sarma masih jutek karena kesalnya belum lepas pada Alan. Alan menggerakan telunjuknya, mengartikan agar Sarma mendekat.

"Gak sopan sama senior." Alan menyentil kening Sarma.

"Aduh," Sarma mengusap usap keningnya. "Iya, lagian buat kesel aja, udah tau kalo marah gue gak pandang bulu."

"Jadi kalo gak marah, mandang bulu gitu? Gak ada kerjaan," Alan memegang puncak kepala Sarma.

"Apaan," Sarma menepis tangan Alan dan pergi meninggalkan Alan dengan raut wajah sebal.

Haldi yang berniat ingin menghampiri Alan ke rooftop, berpapasan dengan Sarma di tangga. Gadis itu terus mengomel. Menuruni anak tangga satu per satu. Haldi bingung. Apa yang dilakukan Alan, sehingga reaksi Sarma seperti itu.

"Widih, ini dia. Kemana aja?" Haldi menyalami Alan. "Sarma?" Haldi menunjuk ke belakang.

"Biasa."

Haldi bergumam. "Nih, titipan dari Dara." Haldi memberikan kantong plastik berwarna putih dengan label nama apotek. "Siapa yang sakit?"

"Gue." Alan memeriksa isi kantong tersebut, lalu memasukannya dalam saku hoodie-nya.

"Emang udah sakit dari dulu." Cibir Haldi, mengambil kotak rokok yang terletak di samping Alan. Menyulut satu diantaranya.

OXYGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang