21. Berlapang dada

5.2K 226 2
                                    

Nadhira

         "Nadh? ayo cepat!" teriak ibu.

        "Mau kemana sih bu?" tanyaku.

        "Masya Allah Nadhira, sekarangkan hari pernikahannya Dokter Rovin."

       Deg

      "Oh iya bu, tapi... Nadhira gak akan kesana bu," kataku. "Aku kurang enak badan."

        "Nadh, kamu tuh bagaimana sih?" ibu sudah kelihatan jengkel.

         "Bu, Dhira gak enak badan."

         "Setidaknya kamu datang saja sebentar, jadi saksi pas ijab kobul saja!" ucap bunda.

        Iya, aku akan menjadi saksi sakitku. Aku akan menjadi saksi bahagianya, dan aku akan menjadi saksi atas begonya aku. "Bu, Nadhia nanti menyusul," kataku.

        "Nak, keluarga mereka sangat baik pada kita. Janganlah kamu menolak undangan baik," seru abah.

       "Tapi abah? aku-"

      "Nadh, datanglah. Walaupun sebentar saja! hargailah mereka yang mengundang kita," pinta abah. Aku luluh, akhirnya aku mangut dan bersiap.

***

       Kini aku, abah, dan ibu berjalan menuju tempat pelamina. "Bu, aku-"

        "Nadh, jangan aneh-aneh!" ancam ibu. Aku menghembuskan nafas kasar.

        "Iya bu."

         "Bu guru?" panggil Kevin.

         "Eh, pak Kevin, mana Reza?" tanya ku.

        "Reza gak mau keluar kamar" jawabnya sedih.

         "Kenapa?"

          "Entahlah, tapi rasanya dia tidak ingin berbicara dengan siapapun. Lebih parah lagi ia berbicara tak akan datang."

          "Kenapa?"

         "Aku juga gak tahu? yang pasti Reza seperti sedang sebal."

          "Kenapa?"

          "Dan lagi lagi, bu guru bertanya kenapa?"

          "Maaf, apa aku boleh menemui Reza?"

        "Tentu saja."

        Aku menaiki anak tangga bersama asisten di rumah itu. "Non, ini kamar tuan Reza. Silahkan" ujar wanita itu.

        "Terimakasih," aku perlahan membukakan pintu sedikit, melihat apa yang ada di depan mata rasanya sesak didada. "Reza, boleh bu guru masuk?" tanyaku. Awalnya ku lihat anak itu diam, namun sedetik kemuadian dia berlari ke arahku dan menangis.

         "Bu guru, kenapa bukan bu guru yang menikah dengan kakak? hiks... kenapa harus kak... hiks El... hisk Elvina." Reza langsung berlari dan mendelapku.

         "Sttt... kamu jangan nangis, ini rencana Allah, tuhanmu dan aku. Bagaimanapun rencananya, kau harus menerimanya dengan lapang dada." Lalu ku lanjutkan, "kau tak bisa memaksakan siapapun disini, ini sudah takdir yang ia goreskan untuk kita. Kita hanya bisa menjalankan dan bersyukur."

         "Hiks... tapi bu guru?" dia seperti sengaja menggantungkan kaliamatnya.

         "Tidak ada tapi, ayo kakakmu akan membuka lembaran baru, dan kau harus ada untunya." Dengan bujukanku akhirnya Reza mengangguk mau, kami berjalan ke arah pelaminan. Disana mereka ternyata menunggu Reza.

          "Reza?" panggil Rovin, awalnya Reza bungkam. Melirik ke arah ku dan ku berikan senyum palsuku.

         "Jalanilah," kataku yang terdengar seperti perintah.

         Anak kecil itu tersenyum, menggandengku, kami duduk di belakan Kevin.

        "Baik, apa bisa di mulai?" tanya pak penghulu, kedua mempelai mengangguk.

       "Bismillahirohmanirohim, saya tikahkan dan kawinkan...."

       Hening

      "Saya terima nikahnya...."

      Deg!

       Tak terdengar jelas olehku, yang terdengar hanyalah detak jantungku yang mengendor-ngendor tak rela. Rasa sesak namun tak asma.

       "Bagaimana para saksi sah?"

        "Sah!"

        "Alhamdulillah..."

         Akhirnya berakhir sudah harapanku, mau tak mau ku harus lepaskannya, suka tak suka kuharus menerimanya. Ini adalah takdir, dan dia... Rovin bukan takdirku.

       Selamat tinggal, sang kekasih hati. Janganlah pernah kau datang kembali, membawa cinta yang tak lagi berhak tuk dimiliki.

***

       Aku duduk di kursi ruang tamu memegang ice cream, melamun. Aku buru-buru pulang dari acara pernikahan dengan alasan tak enak badan.

       "Nadh?"

       Aku menengok, Laras. "Ya Ras, ada apa?" tanyaku.

      "Ada yang membuatmu bangkit lagi?" dia malah balik bertanya.

       "Apa maksudmu?" tanyaku lagi,

       "Nadh, sudah cukup kau tersenyum palsu."

       "Apa maksudmu? aku tak mengerti?"
 
        "Nadh, aku sahabatmu. Aku tau tentangmu!"

       Aku bungkam, mendengar apa yang di ucapkan Laras. Dia mendekat, memelukku. "Ketahuilah Nadh, cinta sepihak itu sangat pedih," lirih Laras.

       "Laras, aku tak apa" cetusku.

       "Mungkin mulutmu berkata itu, tapi lain dengan hati mu. Emang pura-pura sok tegar itu gak capek apa?"

         Pertanyaan Laras barusan membuatku tersindir, "Ras, apa dengan aku melihatkan sakitku di pernikahannya akan membuat Rovin membatalkannya?" tanyaku yang membuat Laras bungkam.

         "Laras, apalagi yang harus kulakukan sekarang selain mencoba untuk tegar?"

         "Nadh, setidaknya kau harus bilang bah-" aku memotong perkataan Laras.

         "Bahwa aku mencintai Rovin?"

         Hening.

         "Apa pantas seorang wanita berbicara duluan? Laras, aku perempuan aku hanya bisa menerima!" kataku. "Laras, seorang laki-lakilah yang mengkhitbahkan kita, kita cuman bisa menerima ataupun memutuskan," kini aku tak bisa tenang.

         "Maaf, tapi kenapa kau mencintainya? Dan siapa yang bersalah disini?" tanya Laras, aku menggeleng dalam hati ku berbicara.

Salah siapa
Aku yang terlalu cepat jatuh cinta,
atau kamu yang membuatku jatuh terluka?

Salah siapa
Aku yang terlalu berharap
atau kamu yang memberiku harapan?

Salah siapa
Aku yang menutupi perasaan
atau kamu yang tidak peka?

💎💎💎

Terimakasih, jangan lupa vote and comen!
Terus baca kelanjutannya ya.
Maaf kalau ada kata-kata tipo!

Nadhira [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang