"Bu Wendy sakit, tidak bisa mengajar. Dia hanya menyuruh kita mengerjakan tugas secara berkelompok. Hari ini dikumpulkan." teriakan sang ketua kelas didepan, kontan saja membuat semua siswa didalam ruangan itu ricuh.
Ada yang bersorak gembira karena akan free class, ada juga yang bergegas membuat kelompok lalu mengerjakan tugas yang diberikan, ataupun yang pergi tidur-tidak peduli pada apapun itu.
Sejeong termasuk golongan kedua. Karena dirinya pintar, walaupun hanya sendiri, gadis itu berhasil menyelesaikan semuanya bahkan sebelum bel jam pertama berbunyi.
Drrt drrt drrrtt.
Tidak lama, Sejeong dikejutkan dengan ponselnya yang bergetar didalam saku. Cepat - cepat diraihnya benda itu untuk memeriksa.
Itu ayahnya.
Mungkin karena sudah terlalu lama tidak berkomunikasi, tanpa sadar Sejeong menghela nafas, menormalkan detak jantungnya sebelum benar - benar menerima sambungan telepon.
Memilih mengiyakan saja semua yang pria itu bilang pada akhirnya karena telefon sudah ditutup sebelum dirinya sempat berbicara.
Sebelum Sejeong sempat mengatakan kalau Ia merindukan ayahnya.
Dengan senyum sendu, dilangkahkan kedua kakinya untuk melintasi lorong. Sekarang, Sejeong ingin pergi kemana saja asal bukan ke kelas.
Karena setelah mendengar apa yang ayahnya sampaikan di telefon, kelas yang ramai bukan pilihan.
Dia benar - benar sedang butuh ketenangan.
-curious-
Sejeong kini menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi.
Ya, dia memang memilih pergi kesini. Karena jam pelajaran sedang berlangsung, Sejeong tahu tempat ini akan sangat sepi,
Dirinya bisa menangis disini.
Setelah di rasa sudah cukup lama, Sejeong kemudian bergegas pergi dari sana. Ada satu tempat lagi yang bisa dikunjunginya. Pohon besar di belakang sekolah. Tempat favoritnya.
Dengan senyum, dikeluarkannya sebuah cutter dari dalam saku roknya.
Kemudian mulai digunakannya benda itu untuk membuat goresan di pergelangan tangannya.Membuatnya seolah bertumpuk dengan goresan lain yang sudah lebih dulu dia buat.
Berharap dengan begitu, rasa sakit dihatinya akan berpindah kesana.
Semoga saja.
"Sejeong, bulan depan ayah akan menikah dengan bibi Joohyun. Kau tidak usah pergi kesini, sekolah saja, jika ada waktu kami yang akan mengunjungimu."
Sejeong menggigit bibir mengingat perkataan ayahnya ditelefon. Itu sudah pasti, kan? Ayahnya pasti lebih memilih wanita itu dibanding putrinya. Sejeong sudah tahu, tapi kenapa rasanya sesakit ini?
Sepertinya kehilangan sang ibu karena keputusannya untuk mengakhiri hidup beberapa tahun lalu memang belum cukup. Sekarang, Ia juga lagi - lagi harus kehilangan sosok lain.
Gadis itu kini tertawa miris.
Seperti ibunya, mungkin mati memang selalu lebih baik, kan?
Sejeong ingin seperti itu saja. Lagipula dia juga sudah lelah ada disini. Menjadi gadis malang dan terasing, dirinya sudah muak.
Sejeong harus mengakhirinya.
Dia tidak mau merasakan penderitaan ini lebih lama lagi.
Ditekannya cutter itu kuat - kuat ke permukaan kulitnya. Dalam sekejap, gadis itu sudah terlarut dalam usahanya untuk mengakhiri hidup kalau saja seseorang tidak mencekal tangannya tiba - tiba.
"Kau sudah gila, ya? Untuk apa mengakhiri hidup? Masa depan masih panjang, jangan bertingkah bodoh!!" bentak orang itu membuat sejeong terpaksa mendongkak untuk melihat wajahnya.
Pria ini, siapa?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Curious | Daniel & Sejeong
FanfictionBerawal dari rasa penasaran Daniel pada sosok 'Drama Queen' yang selalu jadi bahan perbincangan di sekolah nya. Hingga diam - diam dirinya jadi tidak setuju mereka memanggilnya begitu setelah melihat gadis itu secara langsung. Karena alih- alih cap...