"Why would you leave us here?"
•••••
Aku berjalan memasuki kelas yang nampak begitu sepi, mungkin karena belum banyak yang datang. Bukan salahku jika aku datang terlalu pagi, karena aku menyukainya.
Aku menaruh tasku di bangku, menatap heran bangku sebelahku yang kosong. Biasanya Radeva sudah datang terlebih dahulu daripada aku, lalu dia akan menyapaku dengan begitu bersemangat.
Namun kali ini bangku sebelahku kosong. Tidak seperti biasanya. Mungkin saja Radeva sedang dalam perjalanan bukan? Aku harap begitu.
Sembari menunggu Radeva --aku tidak yakin apakah aku menunggunya-- seperti biasanya aku memasang earphone di kedua telingaku, lalu mulai memutar musik melalui ponselku.
Lantunan musik-musik barat yang kudengarkan pun tiba-tiba kalah kerasnya dengan suara seorang teman sekelasku --yang merupakan ketua kelas-- yang sedang memberi pengumuman di depan kelas.
Mau tak mau aku melepas earphone, setidaknya aku masih menghargai orang yang sedang berbicara bukan?
"Teman-teman, hari ini ada kabar duka." Ujar Aqil, si ketua kelas.
Sontak semua siswa mulai keheranan, mereka berbisik-bisik menerka apa yang terjadi. Entah kenapa perasaanku saat ini tidak begitu baik.
"Kenapa emang?" Tanya segerombolan siswi yang nampak heboh sendiri.
Aqil mulai memberikan informasi, "Ibunya Radeva meninggal pagi ini. Nanti kita ngelayat kesana."
Deg. Aku merasa sangat kaget. Kenapa Radeva tidak mengabariku? Tetapi siapa aku?
Pagi itu pun aku lewati dengan perasaan cemas dan gelisah dengan keadaan Radeva, hingga menyebabkan kecemasanku bertambah tinggi dan tidak ada Radeva yang menenangkanku.
Untung saja aku masih memiliki cara untuk mengurangi kecemasanku ini. Cukup dengan musik saja.
•••••
Siang ini kami sekelas benar-benar mendatangi rumah Radeva, ikut berbela sungkawa atas meninggalnya ibu Radeva.
Radeva berdiri di depan pintu bersama dengan ayahnya, mereka nampak menyalami orang-orang yang melayat. Aku menatapnya yang sedang tersenyum --aku tahu itu bukan senyuman yang ikhlas. Dia yang tahu bahwa aku sedang menatapnya, lantas dia nampak pamit kepada ayahnya untuk menghampiriku.
Dia berdiri disebelahku sambil masih tersenyum, "Maaf ya, aku ngasih kabar ke kamu hari ini." Ujarnya.
Aku tertegun. Memang penting baginya untuk memberi kabar padaku? Bukankah aku adalah temannya seperti yang lain?
"I'm so sorry for your mom." Ujarku.
Dia tersenyum seperti tadi, "Nggak apa-apa kok, lagipula emang ini rencana Tuhan. Aku juga harus ikhlas, gimana pun juga umur kan nggak ada yang tau."
Aku diam, tidak tahu bagaimana menjawab perkataannya. Meskipun saat ini kepalaku dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang mungkin tidak baik jika aku tanyakan untuk sekarang.
Radeva menarikku mendekat ke arah ayahnya. Ayahnya yang sedari tadi hanya diam, kini menatap kami dengan senyuman yang berkembang.
"Ayah, ini temen sekelas aku. Namanya Marsha." Ujar Radeva memperkenalkanku.
Aku tersenyum kikuk, "Saya Marsha, Om." Ujarku lalu menyalami tangan Ayah Radeva.
"Untuk pertama kalinya lho, Deva memperkenalkan temannya ke saya. Cewek lagi." Ujar Ayah Radeva sambil terkekeh pelan.
Aku terdiam. Jadi ini pertama? Lalu siapa Mikayla?
"Kamu sama Radeva nggak pacaran 'kan?" Tanya Ayah Radeva tak lama kemudian.
"Nggak kok, Yah." Jawab Radeva.
"Kalian mengingatkan Ayah saat pertama kali ketemu Ibu kamu, Dev." Ujar Ayah Radeva, dia nampak tersenyum pilu. "Saat itu kami juga masih SMA, tetapi saat itu kami pikir semua yang terjadi hanya romansa anak SMA. Malah terbawa hingga akhir usia."
"Mm... Saya turut berduka cita atas meninggalnya Ibunya Radeva, Om." Ujarku dengan sopan.
Ayah Radeva tersenyum hangat, "Terima kasih, Marsha. Pesan dari Om, hargai sesuatu selagi itu ada. Karena pasti ada kalanya semua yang disekitarmu saat ini akan hilang, dan mungkin disaat itulah kamu menyesal karena tahu arti kehilangan yang benar-benar menyiksa."
Aku tersenyum lagi, Radeva menatapku juga sembari tersenyum.
Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, bahkan kehilangan harapan untuk hidup. Tetapi dari kehilangan lah, semua orang akan berusaha untuk ikhlas. Merelakan apapun itu untuk pergi, berjalan sesuai takdir yang telah tertulis.
Jika aku hilang, pergi selamanya, akankah ada yang peduli? Hingga mereka paham arti kehilangan yang menyiksa, atau mengikhlaskan saja aku untuk pergi tanpa mau peduli lebih lama lagi?
•••••
Hard days, cold nights. Well... I. Don't. Fucking. Know.
Thank you. Goodbye.
Nowhere, February 21st 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen Fiction[COMPLETED] "Whoever told you that life would be easy, I promise that person was lying to you." --Kondisi dimana tidak memiliki ekspetasi tentang hal-hal baik yang akan terjadi dan juga kesuksesan di masa mendatang. [Definition of Hopeless] Apakah...