21. Inside

103 17 2
                                    

"You'll say that I need help."

•••••

Bohong memang jika dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki perasaan apapun pada cewek yang baru saja sadar dari komanya itu, tapi dia bukan tipe cowok yang dengan mudah mengungkapkan rasa lewat kata-kata. Ia lebih memilih melakukannya lewat tindakan, dengan segala kepeduliannya.

Jujur saja, semakin masuk ke dalam hidup cewek itu semakin besar rasa ingin tahunya akan segalanya tentang cewek itu. Semakin ia masuk ke dalam kegelapan cewek itu, semakin ia ingin membantu cewek itu menemukan jalan.

Hingga akhirnya tak sadar, bahwa dirinya sendiri juga membutuhkan bantuan. Ia tidak sekuat yang terlihat, ia sama rapuhnya dengan cewek itu.

Mereka sama-sama orang yang butuh bantuan, tetapi dia lebih menutup diri daripada cewek itu. Ia merasa sanggup dengan permasalahannya sendiri, yang malah membuat masalah baru.

"Kamu terlalu masuk ke dalam hidup aku, Dev. Sedangkan aku? Kamu seolah-olah nggak ngasih jalan buat aku. Kamu sahabat buat aku, tapi aku merasa kalo kamu nganggep aku temen biasa. Kamu yang ngebantu aku berjuang melawan ini semua, sedangkan kamu berjuang sendiri."

Ia menenggak setengah kaleng dari bir yang ia beli tadi, ia benar-benar kecewa saat ini. Ia kecewa dengan dirinya sendiri, jika ada yang bisa disalahkan berarti itu adalah dirinya.

Suara cewek itu seakan-akan memenuhi pikirannya, ditambah juga dengan senyuman cewek itu ketika sedang menceritakan hal-hal menyenangkan padanya.

Hingga gambaran ketika cewek itu sedang menangis dihadapannya benar-benar membuatnya tak berdaya, ia paling benci air mata. Apalagi air mata dari orang yang ia sayangi.

"Aku butuh kamu, Dev. Aku cuma punya kamu dan Kia, aku nggak tau harus gimana kalo nggak ada kalian. Sedangkan kamu? Kamu masih bisa cari temen lain, Dev. Kamu nggak butuh aku, aku juga nggak ngerasa dibutuhin sama kamu. Meskipun jujur aja, aku pengen jadi seseorang yang kamu butuhkan."

Ia memukuli kepalanya sendiri, lalu menenggak sisa bir dalam kaleng. Ia bingung dengan dirinya sendiri, teramat-sangat bingung.

Ia tidak ingin mengecewakan siapapun, tetapi ia malah merasa mengecewakan cewek itu dan juga dirinya sendiri.

Mungkin niat cewek itu baik, dia hanya ingin membuatnya menceritakan masalahnya pada cewek itu. Hingga ia tak terlalu menaruh beban pada pundaknya sendiri, setidaknya ia bisa berbagi.

Tetapi jujur saja, ia juga tidak ingin merepotkan orang lain dengan masalahnya. Ia tidak ingin menambah beban orang lain dengan dukanya, baginya mereka tidak perlu tahu. Lalu apa yang mereka dapatkan dengan mengetahui masalahnya?

Ia nyaman menjadi sendiri, tetapi ia benci ketika merasa sendiri. Ia tak ingin bergantung kepada orang lain, meskipun itu membuatnya merasakan kesepian yang lama-lama membunuh.

"Aku cuma pengen bantu kamu, Dev."

Kalimat itu tergiang-ngiang dalam pikirannya. Ia takut jika hubungan pertemanannya dengan cewek itu merenggang, hingga pada akhirnya mereka menjadi jauh. Bagai dua orang yang tidak pernah mengenal satu sama lain. Seperti orang asing yang pernah berbagi cerita.

Mungkin jika itu terjadi, ia akan menjadi orang paling kesepian di dunia. Tidak punya keluarga, kerabat dan juga teman. Bukan melebih-lebihkan, tetapi memang kenyataanya demikian.

Jika saja ia menjadi orang yang baik-baik saja, ia tidak akan berjuang melawan hal-hal seperti ini. Sama seperti cewek itu, mereka berdua tidak beda jauh.

Bisa dikatakan, ia seperti menemukan seseorang yang mampu memahaminya hanya dengan menatapnya. Seseorang yang tidak akan menilainya dengan buruk karena perbuatannya, meskipun ia paham betapa buruk dirinya.

Dan seseorang itu mungkin saat ini sedang kecewa padanya, dengan sikapnya yang masih seperti itu. Tetapi semua yang pernah ia alami membuatnya masih sangat sulit untuk terbuka dengan orang lain, meskipun dengan orang yang bisa ia percaya. Hingga tidak ada yang benar-benar mengetahuinya.

Apakah dengan mengutarakan apa yang ia rasakan dan pikirkan, akan membuat semua menjadi baik-baik saja? Hingga tidak akan ada sebuah perpisahan karena kesalahpahaman?

Tetapi apakah ia mampu menjelaskannya dengan tepat --tanpa menyakiti hati atau menyinggung perasaan orang lain?

Ia tak tahu dengan tanggapan apa yang akan diberikan, pikirannya hanya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Meskipun ia tahu, tidak semuanya akan berakhir buruk. Tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk berpikiran buruk.

Ia hanya takut untuk mengakhiri sesuatu yang belum sempat ia mulai, sebuah jalan menuju sesuatu yang ia impikan. Kebahagiaannya, dan juga sahabatnya itu.

•••••

I update almost everyday lately. Haha, I wrote this story a year ago and I did till the epilogue. But I couldn't update this everyday because I was tryna get better, dealing with the monster inside my head and a lot of shits to deal with. But now, I'm tryna update this everyday, so this story will be finished before 2020.

I know the readers of this story is not that much, but I'm still thankful. I talk about mental illnesses, and those shits are kind of something that most people don't talk about.

And, feel free to be my friends. Hit me up, and let's be friends. I'm here for you if you need someone to listen.

Thank you so fookin much.

Area 51, September 29 2019

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang