12. Endless

141 25 0
                                    

"If I need you, I'll see you in my dreams."

•••••

Perkataan Radeva bukan sekedar guyonan atau gombalan semata --aku tahu dia tidak akan bohong, dia benar-benar datang kerumahku tepat setelah jam sekolah usai.

Dia tersenyum manis padaku, sambil menyerahkan sebuah kotak bermotif pinguin-pinguin lucu. Dia tahu bahwa aku menyukai hewan dari kutub selatan itu, daripada seperti banyak cewek yang suka unicorn atau semacamnya. Lagipula aku tidak berpikiran bahwa unicorn itu nyata, juga aku tidak suka kuda.

Aku membuka kotak itu, dan mendapati dua batang coklat dan sebuah kartu ucapan.

"Jangan dibaca sekarang, nanti aja." Radeva menyengir.

Aku pun mengajaknya masuk ke dalam rumah, lalu mempersilahkannya duduk di sofa ruang tamu.

"Minum?" Tawarku, dia menggeleng.

"Udah bawa sendiri." Dia mengeluarkan sesuatu dari plastik yang berada di dalam tasnya. "Aku kan tamu mandiri."

Aku terkekeh pelan, "Pinter ya, tamu yang nggak mau ngrepotin."

Dia juga ikut terkekeh, lalu meminum Thai Tea yang ia bawa.

"Oh iya, dirimu berhutang penjelasan padaku." Ujarnya.

"Penjelasan apa?" Tanyaku.

Dia berdecak, "Sakit apa?"

"Cuma demam." Jawabku.

Radeva menatapku dengan tatapan curiga, lalu pandangan matanya jatuh ke lengan kiriku yang tertutupi oleh baju lengan panjang yang aku kenakan.

"Tangan kamu lagi?" Tanyanya.

Aku terdiam. Aku tahu bahwa dia sangat peka dengan hal semacam ini.

Dia menghembuskan nafas panjang, "Oke, kalo gitu biar aku cerita ke kamu. Tapi kita di teras aja yuk!" Ajaknya.

Aku menatapnya bingung, "Di luar mendung, Dev. Tanda-tanda hujan."

Dia tersenyum tipis, "I know, but, please." Pintanya, dan aku hanya bisa mengganguk.

Kami berdua pun keluar menuju ke teras depan, duduk di kursi yang ada di sana. Aku melirik Radeva yang menatap langit yang dipenuhi awan mendung dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.

Kami terdiam, dengan Radeva yang sepertinya sibuk dengan pemikirannya dan aku yang sibuk menerka apa yang akan ia sampaikan dan apa yang ia pikirkan saat ini.

"My mom has passed away, you know that, Sha." Ujarnya mengawali.

Dia nampak menarik nafas dalam-dalam, lalu kembali bercerita. "I hate to say this, but she died because of my recklessness."

"Andai aja malam itu aku buru-buru pulang, nggak berhenti dulu buat beli sesuatu itu. Pasti mama masih hidup sekarang." Dia menutup matanya erat-erat, hingga aku sadar bahwa cairan bening keluar dari kedua matanya.

Aku mencoba memberanikan diri bertanya padanya, "Emangnya kenapa, Dev?"

Dia membuka mata, kembali menatap awan hitam di langit. "She overdosed."

"Maaf, Dev. Aku--"

"Sha, aku mohon sama kamu. Kamu jangan melakukan hal-hal nggak berguna itu lagi, aku paham kamu ngelakuin itu karena apa. Tapi kali ini aja, aku pengen kamu terus hidup. Aku pengen kamu suatu hari nanti melihat kembali hari ini dan menyadari bahwa kamu bangga bisa bertahan sejauh itu. Aku nggak mau kehilangan orang-orang disekitar aku dengan cara yang nggak bisa aku terima, Sha. Kali ini dengerin aku ya, Sha."

Aku terdiam, pandanganku tertuju pada lenganku sendiri. Hingga tak kusadari air mata kembali turun. Aku tidak pernah diperhatikan oleh seseorang sampai seperti ini.

Dia menghampiriku lalu memelukku erat, seperti seorang sahabat yang takut kehilangan sahabatnya. Ya, kami memang sahabat.

"Dev, aku juga minta sama kamu. Berhenti mencari ketenangan dengan hal-hal itu lagi. Kita berdua pasti bakal baik-baik aja. Aku juga nggak mau kehilangan orang disekitarku." Ujarku.

Aku memahami sesuatu. Dia bukan hanya menguatkanku, tetapi aku juga berusaha menguatkannya. Sebagaimana fungsi seorang sahabat.

"Sha, aku ijin pergi ya."

•••••

Di luar hujan cukup deras, dan aku di dalam sini hanya bisa mengamati tetesan air hujan dari dalam kamar sambil mengenggam erat surat yang Radeva berikan tadi.

Lantunan lagu End dari Jeremy Zucker yang terputar melalui speaker aktif, membuat malam ini terkesan begitu menyedihkan.

“Marsha,
Apa mungkin hanya aku yang takut dalam kasus ini? Aku tidak pernah mengijinkan orang lain masuk sebegitu dalamnya ke dalam hidupku, tetapi kamu dengan santainya mampu melakukannya. Tanpa permisi memasuki hidupku, dan aku memberikan tawaran ikatan pertemanan. Terima kasih dan maaf karena kamu membuang waktumu untuk aku. Sampai jumpa lain waktu, Marsha.”

Genggamanku pada surat yang Radeva berikan tambah mengencang seiring bertambah derasnya hujan yang turun.

"Kamu itu cewek baik, cuma hal-hal itu aja yang buruk. Tapi tenang, Sha. Kamu nggak sendiri, kamu kuat, dan kamu itu istimewa."

I'm staring at the clouds
You know I hate this weather

"Kamu jangan nangis lagi, Sha. Aku nggak mau ada hujan terus, meskipun aku suka hujan-hujan."

But we can work it out
I swear I could do better

"Coklat, musik, pinguin, sama novel. Aku bisa kasih itu semua supaya kamu terus senyum, kecuali pinguin sih. Masa kamu mau masukin pinguin ke freezer? Tapi boleh juga."

If you let me
So we wait for things to change

"Jadi diri kamu sendiri, jangan berubah hanya untuk disukai orang lain."

I never thought that this could end
If I'm not with you
How can I fall asleep again?

"Percaya deh, akhir itu selalu bahagia. Jika nggak bahagia, berarti ceritanya masih bersambung."

Radeva, si cowok menyebalkan tapi bisa berubah menjadi cowok cerewet dan aneh ketika hanya ada kita berdua. Mungkin aku akan merindukannya dan segala ocehan-ocehan manisnya, senyumannya, dan tatapan matanya. Pastinya, aku akan merindukannya.

•••••

-End-

I SAID I LOVE YOU, BUT I LIED~

OK, IM LYING THO :')

WE'VE NOT REACHED THE END YET. IT'S JUST THE BEGINNING 💀

i think im not just sarcastic, but dramatic. Lmao.

#savepenguin

Danke💀

Somewhere,
March 17th 2019

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang