"'Cause all the kids are depressed."
•••••
Jam diponselnya menunjukkan hampir pukul dua pagi, sedangkan ia harus bangun pukul lima pagi. Matanya masih belum menunjukan tanda lelah, tangannya masih sibuk meng-scroll feed Instagram.
Hingga setelah itu ia menemukan sebuah postingan berisi kata-kata motivasi, ia pun membaca tiap kata dengan seksama. Siapa tahu ia bakal ikut termotivasi juga?
"Kamu boleh patah. Tapi kamu tidak boleh menyerah." Bibirnya terucap mengikuti kata-kata yang ia baca.
Ia membuka kolom komentar, lalu menuliskan komentar untuk me-mention seorang temannya --bahkan bisa dikatakan sebagai sahabatnya.
"Semoga kamu di sana baik-baik aja, Sha. Aku kangen, it's been a long time since we have met each other." Batinnya.
Setelah merasa bosan dengan membuka Instagram, lalu ia pun mulai membuka aplikasi yang lain. Pilihannya jatuh ke YouTube.
Ia menghabiskan waktu untuk menonton video-video di YouTube, hingga ia bahkan tidak sempat mengistirahatkan otak dan juga tubuhnya. Tapi memang ini lah kebiasaannya.
Baginya tidur adalah musuh, karena ia merasa dekat dengan kematian ketika ia tidur. Sedangkan ia belum ingin merasakannya, tidak sebelum ia melihat orang disekitarnya merasa bahagia.
Ia paham dengan ungkapan, there are too many sad eyes on happy faces. Ditambah juga, ia mengenal banyak sekali orang yang seperti itu.
Tersenyum bahagia, tertawa lepas, tetapi sebenarnya hanya untuk menutupi kesedihan yang tak henti bahkan tidak mampu lagi untuk menangis.
Ia tak ingin generasi ini menjadi generasi depresi, meskipun ia sadar diri dengan kondisi yang ia alami. Tidak berbeda jauh.
•••••
"Eh, aku kemarin baca ada artis yang bunuh diri. Kasian banget ya dia, padahal dia keliatan baik-baik aja."
"Iya kasian banget, nggak tega aku."
Ia menghembuskan nafas panjang. Ia merasa aneh dengan masyarakat, dan juga prihatin.
Ketika ada seorang artis yang meninggal karena bunuh diri, mereka ikut prihatin. Tetapi ketika orang biasa, mereka malah mencaci dan mengatai. Apakah itu adil?
Memang bunuh diri itu salah, tetapi lebih salah lagi jika kalian --selaku bagian dari masyrakat-- membuat orang ingin bunuh diri. Ini bukan berlebihan, faktanya memang seperti itu.
Banyak orang yang ingin bunuh diri setelah merasakan penderitaan yang mereka rasakan dari dalam kehidupan bermasyarakat, seperti dikucilkan. Ketika mereka membutuhkan bantuan, malah mereka mendapat omongan-omongan tak berperasaan dari masyarakat.
Ia pun terus melangkahkan kaki menuju ke kelas, ia paling tidak sanggup untuk mendengarkan perkataan-perkataan yang membawa isu mental health, self-harm atau pun suicide.
Setelah tiba di dalam kelas, ia segera menghampiri seorang temannya yang sedang nampak asyik mendengarkan musik dengan earphone. Lantas ia menarik earphone yang temannya pakai, lalu memasangkannya ke telinganya sendiri.
"Apaan sih, Ki. Ganggu aja." Omel temannya yang merasa terganggu.
Ia menatap temannya dengan pandangan yang membingungkan. "Tadi di luar ada cewek yang ngomongin tentang artis bunuh diri, Dev."
"Terus? Kenapa?"
Ia menghela nafas, "Aku keinget Caca, Dev. Aku takut kalo Caca ngelakuin itu, kamu tau kan dia kaya gimana."
Teman cowoknya itu terdiam sekejap, "Marsha nggak bakal nyoba hal itu lagi, Ki. Positive thinking aja, Ki."
"Radeva, kamu termasuk daftar sahabat dia! Beberapa tahun lalu aku pindah ke sini, dia kesepian dan ngelakuin hal itu lagi. Dia nggak punya tempat berbagi, kamu tau kan gimana kondisi keluarga dia." Cewek itu menatap temannya dengan sedikit emosi.
"Kia, kita berdoa aja semoga dia nggak macem-macem di sana. Aku juga khawatir, dan merasa bersalah harus ninggalin dia. Tapi jarak kita dan dia nggak sedeket dulu, Ki. Kamu nggak lagi sekomplek sama dia, aku juga nggak lagi sekelas sama dia. Kita sekarang beda kota sama dia, Ki." Balas Radeva kepada Kia.
Kia kembali menghela nafas, lalu pandangannya menatap lurus ke depan. "Aku seneng waktu dia cerita punya temen yang bisa nerima dia lagi, aku merasa beban aku sebagai sahabat dia itu berkurang dengan tau kalo dia punya seseorang untuk mendengarkan dia dalam konteks berada disekitarnya. Tapi sekarang orangnya pindah, malah jadi temen aku dan aku bingung apa dia di sana punya temen lagi."
"Ki, she's more than my friend. She's just like my sister, I need to take care of her. Aku tau, Ki. Aku takut kehilangan seseorang yang berarti buat aku, seseorang yang membuat aku sadar kalo aku nggak sendirian."
Kia tersenyum tipis, "We have to see her."
"Maksudnya?"
Senyumannya tambah merekah, "Sabtu ini kita balik, Dev. Buat nenggok Caca."
Mau tak mau Radeva juga ikut tersenyum. Hampir dua bulan ia tidak melihat Marsha, jujur saja ia merindukan cewek cerewet itu.
Semoga takdir bisa membuat mereka bertemu kembali, entah dalam kondisi apa nantinya.
•••••
Oops, i haven't update this story for like 4 or 5 months. And now idk who still remembers this story, but i hope someone does. Well, thank you for being here if you finally read this chapter.
Danke🖤
Somewhere, September 24th 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen Fiction[COMPLETED] "Whoever told you that life would be easy, I promise that person was lying to you." --Kondisi dimana tidak memiliki ekspetasi tentang hal-hal baik yang akan terjadi dan juga kesuksesan di masa mendatang. [Definition of Hopeless] Apakah...