Chapter ini mengandung adegan sensitif.
Sebelum baca chapter ini, mohon kuatkan mental. Chapter ini memerlukan pikiran yang terbuka dan pemahaman situasi yang baik. Terima kasih. Selamat membaca.
•••••
"It's the only way that I know how to deal with this pain that I feel deep inside me."
•••••
Aku berdiri di depan wastafel, menatap pantulan diriku pada cermin dihadapanku. Terlihat begitu mengerikan, dengan mata bengkak tanda sehabis menangis tanpa henti. Bahkan aku melihatnya sebagai orang lain, bukan diriku sendiri.
Aku mencoba tersenyum, namun ternyata aku tidak berhasil. Aku tidak memiliki kekuatan untuk sekedar tersenyum, terasa begitu berat.
Air mata juga tidak mampu lagi turun, aku terlalu lelah. Bisakah aku menyerah kali ini? Semua terlalu menyakitkan untuk terjadi.
Andai saja tadi dia tidak datang dan mengacaukan malamku, pasti aku masih duduk tenang dengan sepotong kue di tangan sambil menikmati ketenangan. Bukan malah menjadi monster mengerikan semacam ini.
Tapi nyatanya malam ini kembali kulalui dengan air mata, mungkin juga dengan benda-benda tajam. Atau juga antidepresan.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi, lalu menjatuhkan diri ke atas ranjang. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, pikiranku kacau seperti biasa.
Dari sini aku masih bisa mendengar teriakan mama dan suara pecahan kaca ya ng menambah kekacauan dalam diriku. Aku benar-benar lelah sekarang. Aku ingin menutup mata dan tak pernah membukanya lagi.
Aku mengeluarkan beberapa obat yang berada di dalam laci meja belajarku, ada paracetamol dan juga antidepresan. Aku mengambil botol berisi pil antidepresan.
Aku mengambil sebuah kertas dan pulpen, lalu mulai menuliskan sebuah surat. Yang mungkin akan menjadi surat terakhir.
"Jika aku mati membuat kalian bahagia, lebih baik aku mati. Tidak akan ada lagi beban untuk kalian. Aku juga ragu jika kalian akan peduli bahkan ketika aku mati sekalipun. Terima kasih, Ma, Pa. Kalian telah membiarkanku hidup selama 15 tahun ini, dan terima kasih juga telah mengajariku cara bertahan hidup di dalam neraka yang kalian buat. Aku sudah lelah, Ma, Pa. Selamat tinggal."
Aku menaruh surat itu di atas nakas, lalu aku mengambil beberapa butir obat itu --hampir setengah dari isi botol. Melebihi dosis yang dianjurkan oleh dokter yang menanganiku.
Aku menenggaknya dengan susah payah, dan pada akhirnya obat itu mampu memasuki tubuhku.
Aku merasakan tubuhku melemah, nafasku mulai tersenggal seakan udara disekitarku tidak mampu memasuki paru-paruku. Tangan dan kakiku serasa tidak mampu lagi untuk bergerak. Aku ingin berteriak, bukan untuk meminta pertolongan. Hanya berteriak, melepaskan beban ini untuk terakhir kalinya.
Tubuhku mulai mengejang, aku hanya bisa terbaring pasrah di atas ranjangku. Berharap tidak ada seseorang yang menolongku, hingga nanti mereka akan menemukan jasadku yang terbaring kaku di sini.
Kesadaranku mulai berkurang, aku masih bisa mendengar teriakan mama dan papa yang berada di depan pintu kamarku. Mereka nampak menggedor pintu kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen Fiction[COMPLETED] "Whoever told you that life would be easy, I promise that person was lying to you." --Kondisi dimana tidak memiliki ekspetasi tentang hal-hal baik yang akan terjadi dan juga kesuksesan di masa mendatang. [Definition of Hopeless] Apakah...