"I can't stop myself from falling."
•••••
Kami menuju ke halte bus, lalu mulai menunggu bus.
"Kamu mau kemana, Dev?" Tanyanya.
Aku diam dan berpikir, "Kemana aja, asalkan nggak pulang."
"Kenapa?"
Aku tersenyum simpul, "Kamu tau sendiri, Kay."
"Hm, oke. Kalo gitu kita pergi ke tempat yang biasanya aku kesana aja ya." Ujarnya, aku hanya mengangguk mengikuti apa yang ia pikirkan.
Setelah bus datang, kami segera naik dan menuju ke tempat yang ia bilang tadi. Dia bilang butuh waktu dua puluh menit untuk kesana dengan bus, jika jalanan lenggang.
Kami berdua tiba di sana, sebuah taman yang nampak tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa lansia yang sedang berjalan-jalan santai dan beberapa ibu-ibu yang membawa anak mereka bermain.
Dia menarik tanganku ke sebuah kursi taman yang sepi dari jangkauan orang-orang. Kami berdua duduk di sana sambil mengamati keadaan sekitar kami.
"Aku suka di sini, Dev. Ada ibu-ibu yang main sama anaknya, aku jadi inget masa kecilku. Ada nenek-nenek sama kakek-kakek jalan berdua gitu, aku keinget Mama sama Papa." Ujarnya, aku diam dan menatapnya.
"Masalah apa lagi, Kay?" Tanyaku padanya.
Dia tertawa dengan terpaksa, "Biasalah, Dev. Mereka lagi."
"Gimana?"
"Mereka bilang aku anak haram lah, terus mereka bilang kalo aku lebih baik mati aja. Ya udah, aku tampar aja. Eh malah akhirnya jambak-jambakan deh." Dia tersenyum miris.
"Mikayla, jangan dengerin mereka lah. Mereka ngomong gitu karena mereka nggak tau kamu, mereka mungkin iri karena tau seberapa kuatnya kamu. Kamu juga diemin aja, nggak perlu pake tangan ya." Ujarku mencoba memberinya nasihat dan dukungan.
Dia tertawa pelan, "Dev, kamu sendiri itu gimana ya? Ya ampun, sepupuku satu ini."
"Ya gimana, Kay. Kamu tau kan sekolah itu menyiksanya kayak gimana, terus di rumah itu juga menyiksa." Balasku.
"Bunda masih kayak gitu, Dev?" Tanyanya.
"Bunda nggak bakal berhenti sampai Ayah balik, Kay." Jawabku.
Dia menatapku lekat-lekat, "Dev, setidaknya kamu ada buat Bunda. Jangan terus-terusan lari gitu."
"Kay, aku capek tiap hari harus pura-pura nggak dengerin Bunda nangis. Aku capek harus diperbudak mereka. Aku capek dihina, dicaci maki, direndahkan. Aku capek jadi tempat pelampiasan marahnya Bunda buat Ayah." Jelasku.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.
Dia tersenyum tipis, "Dev, lari itu nggak bakal menyelesaikan masalah. Kalo kamu tau ada yang salah, hadapi dan coba perbaiki. Jangan lari dan pura-pura nggak tau. Kalo kamu lari, apa kamu mau terus-terusan ngeluh capek? Hidupmu hanya akan dipenuhi keluhan tentang rasa capek itu, padahal kamu sendiri yang lari."
•••••
Aku menyadari kebodohanku, sepedaku tertinggal di sekolah. Mungkin besok aku harus menggunakan angkot atau bus. Biarlah, bukan masalah besar.
Aku mencoba fokus pada puluhan soal-soal yang ada dihadapanku, dan sekiranya hal itu akan sedikit membuatku melupakan beban pikiranku. Aku tidak ingin mendapatkan nilai yang buruk dan membuat Bunda kecewa.
Setelah berkutat dengan soal-soal itu kurang lebih satu setengah jam, aku pun menyudahinya. Karena jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku tidak terbiasa tidur larut.
Aku berjalan ke luar kamar, menuju ke dapur. Aku membutuhkan air saat ini.
Dari kamarku menuju ke dapur harus melewati kamar Bunda, dan tepat di depan kamar Bunda --yang pintunya tidak tertutup dengan sempurna-- aku berhenti melangkah. Aku melihat ke dalam.
Terlihat Bunda sedang menangis di sana. Ketika aku ingin melanjutkan langkahku ke dapur, tiba-tiba perkataan Mikayla mendatangi pikiranku. Aku tidak bisa selamanya berlari dari masalah ini.
Aku pun masuk ke dalam kamar Bunda, duduk di samping Bunda dan mencoba memeluknya. Tangisan Bunda semakin kencang, aku bingung harus bagaimana.
"Bunda, jangan nangis lagi. Deva ada di sini buat Bunda," Ujarku.
Bunda terdiam, lalu menatapku yang masih memeluknya.
"Deva, anak Bunda satu-satunya. Bunda sayang sama Deva, Bunda nggak mau ngerepotin Deva. Bunda nggak mau Deva kepikiran tentang Bunda terus, Deva juga punya kehidupan sendiri." Jelas Bunda padaku, lalu memelukku.
Aku menggelengkan kepala, "Kehidupan Deva itu berawal karena Bunda, Deva nggak mau Bunda merasa sendirian."
"Bunda nggak sendiri kok, ada Deva, ada Ayah kamu." Ujarnya sambil memaksakan senyuman.
Aku terdiam sambil memeluk Bunda, hingga tak terasa air mataku jatuh. Aku tak tahu kapan semua ini berakhir.
Bunda dengan kondisinya sudah menyita pikiranku, ditambah dengan Ayah yang pergi entah kemana tanpa meninggalkan jejak namun masih mengirimiku dan Bunda uang tiap bulan.
Tidak ada nama keluarga di belakang namaku, tetapi ada bayangan tentang keluarga di depanku. Aku hanya ingin keluarga yang utuh dan saling menyayangi satu sama lain. Tidak lebih.
Mungkin aku hanyalah korban dari keadaan. Ketika rumah yang awalnya menjadi tempat nyaman, kini tak lagi benar-benar nyaman ataupun aman.
Apa semua tempat di dunia ini memang bukan tempat dimana aku seharusnya berada? Apa aku harus selalu hidup dalam kekacauan? Bahkan damai pun tak bisa kudapatkan.
•••••
Have a good day, everyone💖
Thank you🖤
Mars, November 5 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen Fiction[COMPLETED] "Whoever told you that life would be easy, I promise that person was lying to you." --Kondisi dimana tidak memiliki ekspetasi tentang hal-hal baik yang akan terjadi dan juga kesuksesan di masa mendatang. [Definition of Hopeless] Apakah...