"Let me just give up, let me just let go."
•••••
Sering kali aku membayangkan, betapa indahnya duduk di teras rumah bersama ayah ibu dan kakak adik. Berbagi tawa, dan juga senyuman yang terus melekat di bibir.
Di sini hujan menimpaku, tanpa ada pelindung yang melindungiku dari timpaan air hujan ataupun bahu yang mau menjadi sandaranku.
Aku kedinginan, aku kesepian, aku kehilangan arah, aku terjebak dalam kepedihan, aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.
Aku kacau, aku rapuh, aku lelah, aku tidak selamanya bisa bertahan, aku tidak selamanya harus terus berjuang. Aku punya keinginan untuk menyerah.
Apakah aku terlihat bodoh jika aku juga harus mencoba mengakhiri hidup? Sama seperti mereka, mencoba menyelesaikan permainan Tuhan sebelum waktu yang sebenarnya tiba.
Tapi jika aku harus keluar dari permainan sebelum waktu berakhir, aku akan menjadi seorang pendosa nantinya. Katanya Tuhan tidak akan membenci pendosa, jadi apakah Tuhan akan membenciku jika aku memilih untuk mengakhiri permainan yang seharusnya Ia tentukan?
Air mataku sudah tumpah sejak rintik hujan mulai membasahi bumi. Ia sudah menyatu dengan air hujan yang turun.
Hujan membuatku tidak terlihat lemah, karena saat itu tidak akan ada yang mengetahui tentang air mataku yang jatuh. Mereka pasti akan terus menganggapku sebagai orang yang kuat.
Aku tahu satu hal, semua orang tidak akan bisa selamanya berpura-pura. Pasti ada kalanya mereka ingin berhenti berpura-pura, dan menunjukkan siapa mereka yang sebenarnya.
Apakah aku salah jika aku menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya? Bukan seseorang yang kuat, bisa tertawa dengan lepas tanpa beban.
Aku yang tertawa untuk menutupi kerapuhan, tertawa agar mereka tidak tahu semenyedihkan apa aku. Tersenyum untuk menutupi luka, agar mereka tahu bahwa aku adalah orang yang kuat.
Tapi apa? Aku sudah lelah. Percuma saja berpura-pura di depan orang lain, mereka tidak peduli. Tidak akan pernah.
Semua orang seakan mulai meninggalkanku perlahan-lahan. Sakit? Bahkan aku terlalu sering merasakannya. Hingga aku ingin mematikan semua rasaku, dan hidup sebagai seorang yang tak memiliknya.
Aku menjatuhkan diri, berlutut di atas aspal jalan. Menatap gelapnya langit malam yang gelap disertai dengan awan mendung.
Tangisanku semakin menjadi-jadi. Aku berteriak dalam alunan suara hujan. Tidak akan ada yang mendengar teriakanku.
Bahkan meskipun aku meminta pertolongan, aku tidak yakin ada seseorang yang akan membantuku. Bukankah aku sudah ditakdirkan selalu sendiri?
"Biarkan aku menyerah." Teriakku dengan amarah.
Aku memukuli kepalaku sendiri. Aku tahu aku bodoh, aku tahu aku tidak berguna, aku tahu hidupku hanya membuang-buang waktu. Tapi apakah orang sepertiku tidak boleh marah?
Aku ingin marah, bahkan aku sudah memendam amarah ini sejak lama. Aku ingin menyalahkan siapapun atas semua ini. Keluargaku, teman-temanku, siapapun. Bahkan Tuhan.
Aku ingin mengendalikan permainan ini. Aku ingin berteriak sekeras mungkin agar semua orang paham bahwa aku sudah menyelesaikannya. Aku menyerah.
Terlalu sering aku berpura-pura, hingga aku lupa bahagia yang sebenarnya. Terlalu sering aku menutupi luka, yang malah membuatnya lebih menganga. Terlalu sering aku tertawa, malah hanya membuatku terus tersiksa. Terlalu sering aku mencoba, hingga pada akhirnya sia-sia.
Apa lagi yang harus aku harapkan dari kehidupan ini? Kepedulian? Kebahagiaan? Kedamaian? Apa? Semua itu tidak akan kudapatkan.
Untuk kali ini saja aku ingin berhenti berjuang, sekali yang akan membawaku ke dalam sebuah keabadian. Melawan permainan Tuhan, dan membuatku menjadi pendosa besar.
Untuk kali ini aku berteriak lebih keras, "Aku lelah. Aku menyerah. Biarkan aku pergi."
Malam itu aku hanya berharap esok hari mereka mendatangi pemakamanku. Berharap sebuah mobil menabrakku, atau aku mati kedinginan saja
Malam itu aku tidak ingin baik-baik saja. Malam itu aku ingin semua rasa sakitku berakhir secepatnya. Malam itu aku berharap agar malaikat maut meluangkan waktu untuk menyapa. Malam itu aku menyambut kematian dengan tangan terbuka.
Tapi sayangnya, semua itu tidak terjadi. Seseorang melihatku, mengajakku berteduh dan bertanya tentang keadaanku. Jawabanku masih sama, kebohongan yang sama.
"Aku baik-baik saja."
Namun ia tidak sebegitu mudahnya percaya, ia tahu aku tidak 'sebaik-baik saja' yang terlihat. Dia hanya bisa membiarkanku, tidak mau ikut campur.
Dia bilang dia hanya orang asing, tetapi jika aku butuh apapun atau ingin membagi beban, aku bisa mengatakan padanya.
Toh, orang sepertiku meskipun sudah diberi tahu hal semacam itu juga tidak akan melakukannya. Karena aku hanya akan merasa merepotkan semua orang, jadi aku hanya diam dan menaruh beban dipundakku sendiri.
Jujur saja, masih sulit bagiku untuk percaya dengan orang lain. Sedekat apapun aku padanya. Otakku selalu memberikan sirine bahaya jika ada orang yang berbuat baik padaku.
Mungkin aku harus mulai menerima niatan baik orang di sekitarku yang ingin membantuku, aku harus belajar memercayai orang lain. Yang berarti, aku masih harus tetap hidup.
Aku menyadari, masih banyak tugas yang belum kuselesaikan. Baiklah, ternyata ada alasan untuk aku tetap hidup. Untuk kali ini.
Siapa yang tahu tentang isi pikiranku yang bisa berubah tiap saat ini? Mungkin akan lain cerita tiap harinya.
Pilihanku hanya, aku ingin hidup dan aku ingin mati. Keduanya beresiko. Aku tahu itu. Aku punya banyak alasan untuk mati, dan kini tolong berikan aku alasan untuk hidup. Aku butuh itu.
•••••
Does anybody feel like me? Am I alone?
Thank you.
Nightmare, October 17 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Novela Juvenil[COMPLETED] "Whoever told you that life would be easy, I promise that person was lying to you." --Kondisi dimana tidak memiliki ekspetasi tentang hal-hal baik yang akan terjadi dan juga kesuksesan di masa mendatang. [Definition of Hopeless] Apakah...