13. Photos

117 20 0
                                    

"We keep this love in photograph."

•••••

"Kenapa sih Radeva pindah segala? Sedih tau nggak."

"Iya ih, padahal aku tertarik sama dia."

"Tapi Radeva mah deketnya sama Marsha terus, mereka cocok gitu bareng."

"Bener sih, aku suka malah kalo Radeva sama Marsha. Kayak Marsha itu pawangnya deh. Haha."

"Ngomong-ngomong kenapa ya Radeva pindah segala?"

"Mungkin ada masalah, atau entahlah."

Aku menambah volume lagu dari ponselku, namun sayangnya ini sudah paling tinggi dan aku masih bisa mendengar beberapa cewek dikelasku yang sedang membicarakan Radeva dan juga aku.

Sepertinya sejak seminggu yang lalu, topik tentang kepindahan Radeva menjadi sesuatu yang menyedihkan bagiku.

Dua minggu yang lalu, dia ijin untuk pergi padaku. Andaikan aku memiliki hak untuk melarangnya, pasti sudah kulakukan. Tetapi aku hanya bisa menyetujui keputusannya, yang ujung-ujungnya membuatku kesepian lagi.

Sejak seminggu yang lalu, dia benar-benar pergi meninggalkan kota ini. Tanpa ucapan selamat tinggal secara langsung, hanya meninggalkan beberapa surat yang masih aku simpan dan belum ingin aku buka.

Sejak seminggu yang lalu, dia sama sekali tidak menghubungiku. Terakhir dia menghubungiku sekitar sepuluh hari yang lalu, dia memintaku untuk bertemu dan memberikan aku beberapa hadiah.

Aku membuka note yang selalu aku bawa, lalu mulai menulis lagi. Diiringi lagu yang sering kuputar akhir-akhir ini. Lagu yang sama seperti yang ku putar malam itu.

"Jika pada akhirnya aku tetap sendiri, kenapa harus ada masa dimana seseorang menemani? Malah membuat semakin patah hati, hingga aku mulai lelah untuk percaya dengan kalimat 'Kamu tidak sendiri' Karena kenyataannya aku sendiri, entah ramai atau pun sepi. Lama-lama aku benci."

Aku membuka-buka kembali note yang biasa aku gunakan untuk menuliskan semua yang ingin aku tulis, hingga aku menemukan beberapa lembar foto polaroidku dan Radeva.

Foto pertama, aku dan Radeva yang tampak tersenyum lebar menatap kamera. Foto kedua, Radeva yang sedang memakan es krim dengan wajah yang lucu. Foto ketiga, fotoku yang sedang memegang sebuah boneka pinguin berwarna biru. Dan masih banyak lagi.

Dalam tiap foto terdapat caption yang berupa kapan dan dimana foto tersebut diambil. Aku tersenyum melihat tiap lembaran-lembaran foto itu.

Di tengah-tengah kegiatanku, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tanda ada notifikasi beberapa pesan masuk dari WhatsApp, dan dari nomor yang belum terdaftar dikontakku.

Aku membukanya dengan perasaan takut, aku berharap aku tidak mendapatkan panic attack saat ini. Meskipun rasanya dia akan menyerangku.

Aneh memang, tapi inilah aku. Mudah cemas dan panik dengan hal-hal sepele dan tidak terlalu penting. Bukan hal yang aneh bagiku.

Aku membuka pesan-pesan itu, ternyata sang pengirim mengirimiku beberapa foto. Karena read receipts-ku aku matikan, dia tidak akan mengetahui bahwa aku sudah membaca pesannya.

Aku memutuskan untuk men-download foto-foto itu, lalu memutuskan untuk melihat profil sang pengirim. Tanpa foto profil ataupun info, dan display name-nya hanya titik saja.

Foto-foto tadi sudah ter-download, lantas aku pun membuka satu-satu foto tersebut. Terdapat lima foto yang semuanya merupakan foto langit, dan dalam warna hitam putih.

Aku menerka-nerka, siapa orang kurang kerjaan yang mengirimiku foto-foto semacam ini dan juga apa manfaat dia melakukan ini?

Setelah itu, tak lama terdapat tulisan mengetik dari sang pengirim. Aku menunggu pesan apa yang ia kirimkan, namun tak kunjung ia kirim. Bahkan setelah lima menit aku menunggu. Aneh.

Aku mematikan sambungan data dari ponselku, lalu menaruhnya ke dalam tas. Mengambil laptop dari dalam tas, lalu menghidupkannya.

Aku tersenyum melihat beberapa draft cerita yang aku buat, cerita yang tak akan aku publikasikan. Cukup hanya aku yang tahu, atau mungkin nanti ada saatnya mereka akan tahu.

Aku membuka aplikasi word lagi, lalu mulai merangkai kata-kata.

"Jika selama ini aku diasuh oleh sepi, mungkin dia sudah mengundurkan diri sejak dia datang tanpa permisi. Tetapi tanpanya sepi ingin kembali mengajari bertahan diri, agar aku tahu bahwa dalam tiap akhir cerita nanti aku selalu sendiri. Hingga aku tak terjebak dalam persepsi romantis tentang kisah romansa yang abadi, dimana yang jadi pemisah hanya ketika salah satu telah mati."

•••••

In the end of the story I'll always be alone :(

Thank you, goodbye.

Antarctica, April 1st 2019

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang