20. Heavy

108 20 3
                                    

"I'm what you need? I won't be."

•••••

Meskipun sudah rela, tapi melupakan masih terasa berat untuk dilakukan. Bahkan terasa mustahil dilakukan ketika sebagian dari diri masih terbawa dengan hal yang direlakan.

Jika kehilangan dirinya berarti kehilangan separuh diri, akankah ada seseorang yang mampu mengisi rasa kehilangan itu? Mengisi potongan puzzle yang hilang, menempatkannya sesuai tempat.

Aku memejamkan mata, hingga air mata kembali turun. Mungkin saja air seluruh air mataku jika dikumpulkan bisa menjadi lautan, yang akan dipenuhi oleh rasa sedih, marah, kecewa, sakit hati, sepi, dan tiada rasa bahagia barang setetes pun.

Dia menggenggam tanganku, aku menatapnya dengan lemah. Dia tersenyum, senyuman itu yang sangat kurindukan. Apakah aku salah jika menaruh harap akan kebahagiaanku padanya? Maksudku, tentang aku, dia dan masa depan.

Terlalu banyak hal yang tak kuceritakan pada siapapun tentangnya, aku hanya ingin menyimpan kisah tentang hadirnya untuk diriku sendiri. Mungkin nanti aku bisa mulai menuliskan tentang betapa luar biasanya dia membolak-balikkan hatiku, membuatku merasakan naik-turunnya rasa aneh ini ketika aku benar-benar menjauhinya.

Dia adalah seseorang yang benar-benar menyebalkan bagiku. Aku benci dia, tapi aku juga menaruh harap padanya. Dia yang seenak hati merusak pertahanan diri, membawa sebuah rasa yang kuhindari.

Aku tidak pernah mengijinkan seseorang masuk ke dalam hidupku sejauh ini, tetapi dengannya semua berbeda. Dia orang yang tepat disaat yang tidak tepat, aku benci ini.

Jika bisa aku akan menjauh darinya, atau menyuruhnya menjauhiku. Membuatnya membenciku, meskipun itulah ketakutan terbesarku. Tetapi faktanya, aku sangat tidak bisa melakukan hal itu.

Dengan latar belakang yang sama, dunia seolah mempertemukan kita dalam kejadian yang tak terduga. Hidupku yang menyedihkan dan kesepian, lama-lama jadi menyenangkan setelah kehadirannya.

"Dev, kamu nggak butuhin aku kan?" Tanyaku lirih.

Terdengar dia menghela nafas, "Kenapa, Sha?"

Aku memaksakan sebuah senyuman. Terasa berat untuk mengungkapkan, tetapi mau bagaimana lagi? Jika terus kudiamkan, lama-lama menjadi beban yang akan terus bertambah tiap waktu.

"Kamu terlalu masuk ke dalam hidup aku, Dev. Sedangkan aku? Kamu seolah-olah nggak ngasih jalan buat aku. Kamu sahabat buat aku, tapi aku merasa kalo kamu nganggep aku temen biasa. Kamu yang ngebantu aku berjuang melawan ini semua, sedangkan kamu berjuang sendiri." Dia menatapku agak kaget. "Aku butuh kamu, Dev. Aku cuma punya kamu dan Kia, aku nggak tau harus gimana kalo nggak ada kalian. Sedangkan kamu? Kamu masih bisa cari temen lain, Dev. Kamu nggak butuh aku, aku juga nggak ngerasa dibutuhin sama kamu. Meskipun jujur aja, aku pengen jadi seseorang yang kamu butuhkan."

Air mataku kembali menetes, genggaman pada tangannya mengendur. Hingga lama-lama terlepas.

"Aku cuma pengen bantu kamu, Dev." Tambahku pelan.

Dia berdiri, menatapku dengan intens lalu tersenyum tipis. Aku tahu jika dia hanya memaksakan senyuman itu.

"Maafin aku, Sha. Aku nggak bisa jelasin apa-apa untuk saat ini, kamu harus pulih dulu, Sha." Ujarnya lalu berlari meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya dengan sendu, jika saja kakiku kuat untuk mengejarnya pasti dia sudah ku tahan sejak tadi.

Aku menghela nafas, menatap kosong langit-langit kamar inapku. Hingga banyak sekali pertanyaan yang mengisi pikiranku, aku tak sanggup lagi.

Apakah aku sudah melakukan sebuah kesalahan dengan mengutarakan seluruh perasaanku? Apakah nanti dia akan menjauhiku dan meninggalkanku sendiri lagi?

Pikiranku adalah rasa takut terbesarku, terlalu banyak monster yang ada di sana. Memakanku hidup-hidup, menenggelamkanku hingga aku tak bisa bernafas, dan menginginkanku untuk meninggalkan dunia ini.

Semuanya terasa benar-benar berat, pikiranku selalu kacau. Semua tentangku selalu kacau. Aku adalah kekacauan.

Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku hanya bisa mendorong orang-orang disekitarku untuk menjauh, dan apakah kini Radeva juga aku biarkan menjauh?

Apakah nanti aku akan terus dihantui perasaan-perasaan bersalah tentang semua hal yang telah kulakukan? Entahlah, yang aku tahu hanya ini semua benar-benar berat.

•••••

Honestly, I love this chapter. I felt that.

Thank you for reading my shit.

Area 51, September 28 2019

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang