***
From: Prince
Maaf, aku belum siap menemuimu.
Maaf aku mengingkari janjiku.
Maaf Zidna."IH ZIDNA KEBISAAN BANGET! MAIN TINGGAL-TINGGAL AJA!" Suara cempreng milik Ninis menggelegar di kelas XI IPA 1.
Zidna buru-buru memasukkan surat dari Prince ke dalam tasnya.
"Ninis jangan ribut, berisik, gue lagi belajar nih, jadi ga fokuskan." Celetuk Rina si pemarah yang sedang belajar di kelas.
"Ya namanya juga kelas wajar lah ribut, berisik. Kalo mau yang sepi sana lo belajar di hutan aja." Ucapan Ninis membuat orang-orang didalam kelas spontan tertawa.
Rina menatap Ninis tajam, bukannya takut, Ninis malah memelototi Rina. Dengan kesal, Rina membawa bukunya lalu pergi keluar kelas, padahal sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
"Hush hush hush sana pergi!" Ninis mengibas-ngibaskan tangannya. Teman-temannya hanya menggeleng-gelengkan kepala.
***
Zidna sedang menunggu Zidan diparkiran. Karena Zidan sedang ke toilet.
"Hai Zidna!" Zidna menatap datar Luis didepannya yang sedang menaiki motor maticnya yang dimodis, suara knalpot motor Luis juga berisik. Luis tiba-tiba tertawa.
"Motor gue aneh ya Na?" Zidna masih bungkam.
"Lagi nungguin kembaran lo?" Luis menghela nafasnya berat.
"Gue duluan. Bilangin kembaran lo kalo naik motor jangan ngebut." Tanpa menunggu Zidna membalas ucapannya, Luis langsung menancap gas motornya.
Zidan datang dengan wajah lesu, tatapannya kosong tak bisa diartikan, matanya sedikit berkaca-kaca. Zidna mengerutkan kedua alisnya.
"Mamah sakit. Di rawat di rumah sakit. Udah 3 jam pingsan, sampai sekarang belum sadar. Papa yang ngasih tau, tadi papa nelpon gue."
Deg.
Kabar buruk itu membuat Zidna susah bernapas. Zidan memegangi bahu Zidna.
"Ayo pulang." Ajak Zidan.
Setahu Zidna mamanya jarang sakit, sebelumnya belum pernah masuk rumah sakit, bahkan satu bulan yang lalu saat berangkat dari sini saja, masih terlihat sehat, sangat sehat. Mamanya itu seorang dokter, bagaimana bisa ia merawat orang lain tetapi ia tidak bisa merawat dirinya sendiri.
Yang membuat Zidna cemas adalah, siapa yang merawat mamanya disana? Harusnya ketika orangtua sakit yang merawatnya adalah anaknya. Jika saja Jerman tidak jauh, dekat seperti Jakarta-Bandung. Zidna dan Zidan sudah cepat-cepat kesana.
"Gue udah coba nelpon asisten mama, tapi ngga diangkat, mungkin dia lagi sibuk ngurus mama atau lagi nemenin mama." Niatnya Zidan membuat Zidna tenang, Zidna malah semakin cemas.
"Mama sakit apa?" Suara Zidna bergetar. Zidan menggeleng.
"Papa cuma ngasih tau gue kalo mamah sakit dan dirawat di rumah sakit." Zidna mengangguk mengerti.
***
"Na ayo dong makan, dari siang lo belum makan." Zidan menggedor-gedor pintu kamar Zidna, karena dari pulang sekolah sampai sekarang sudah malam, Zidna dikamar dan belum makan setahu Zidan.
"Lo jangan terpuruk begini. Mama baik-baik aja Na."
"Gue juga khawatir Na. Tapi gue rasa disana ada asisten Mama, sama temen-temen Mama. Mama ga mungkin sendirian disana." Tak ada sahutan sama sekali.
Karena Zidan merasa cemas, Zidna masih diam, sebenarnya sedang apa Zidna di dalam? Zidan mencoba membuka pintunya tetapi dikunci, untung saja Zidan mempunyai kunci cadangan kamar Zidna.
Ternyata Zidna sedang tertidur, wajahnya terlihat lebih pucat. Zidan menempelkan tangannya pada dahi Zidna.Panas.
Zidan langsung kelabakan. Ia langsung berlari ke dapur untuk mengambil kompresan, makanan, dan obat untuk kembarannya.
Bi Bee yang sedang menyapu di dapur, bingung melihat Zidan yang sedang mengambil es batu dikulkas seperti orang yang panik.
"Lagi ngapain Den? Mau Bi Bee bikinin minuman?"
"Zidna demam. Bi Bee bikinin bubur aja buat Zidna."
"Den bikin bubur itu ngga sebentar. Bi Bee beli bubur di depan kompleks aja ya?"
"Yaudah terserah Bi Bee." Zidan sedikit berlari membawa kompresan.
Zidan mengompres Zidna. Zidna masih belum bangun dari tidurnya. Zidan menatap Zidna sayu. Mendengar kabar Mamanya masuk rumah sakit juga hampir membuat Zidan frustasi, apalagi kini ditambah Zidna sakit.
Zidan mengambil ponselnya dari saku bajunya, Zidan menelepon Papanya. Tanpa menunggu lama, Papanya menjawab telepon dari Zidan.
"Kenapa Dan?"
"Zidna sakit Pa. Badannya panas."
"Sekarang gimana? Dia sedang apa?"
"Udah Zidan kompres, dia lagi tidur."
"Maafin Papa Dan, Papa belum jadi orangtua yang baik buat kalian berdua, bahkan saat kalian lagi begini Papa ngga ada disamping kalian."
"Pa. Papa disana juga kan lagi kerja, kerja buat Zidna sama Zidan."
"Ya ampun! Zidan lupa Pa, Zidna belum makan dari tadi siang. Zidan mau ambil makanan buat Zidna dulu Pa."
"Hah? Yasudah sana. Papa titip adikmu. Jaga Zidna baik-baik Zidan."
"Iya Pa. Siap!" Zidan mematikan teleponnya.
Saat sedang menuruni tangga, Zidan berpapasan dengan Bi Bee.
"Den ini bubur sama obatnya." Zidan langsung menghentikan langkahnya, ya ia lupa bahwa tadi Bi Bee yang akan membelikan bubur untuk Zidna.
"Makasih Bi. Biar aku aja yang bawa. Bi Bee lanjutin kerjaan didapur aja." Bi Bee menyerahkan nampan di tangannya pada Zidan.
"Bi Bee kedapur dulu Den."
***
"Ayo dong Na buburnya dihabisin." Zidan menyuapi Zidna. Memang ketika Zidna sakit Zidan lah yang paling khawatir. Zidna menggeleng.
"Kenyang."
"Kenyang palalo. Baru makan dua sendok, cepet habisin, terus lo minum obat." Zidna menggeleng lagi.
"Cih keras kepala! Kalo lo gamau makan lo harus di opname." Zidna geram dengan kembarannya.
"Terus lo mau makan apa?" Tanya Zidan dengan lembut.
"Gue ga laper."
"Tapi lo harus makan."
"Mie ayam."
"Yah jangan mie ayam dong. Lo harus makan nasi dulu Na. Tadi kan disekolah lo udah makan mie ayam. Gimana kalo roti? Pokoknya lo harus makan terus minum obat, habis itu istirahat. Besok juga lo gausah sekolah." Cerocos Zidan.
"Ya."
"Oke, gue mau ambil roti dulu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zidna ✔ (Completed)
Roman pour AdolescentsCover by @marscaprico Tentang perjalanan hidup Zidna Marella🌸 "Jangan lupa bahagia ya?" "Dingin." "Iya dingin kayak lo." "Langitnya indah ya Na, kayak lo." "Hati manusia itu seperti laut," "Tidak ada yang tahu isinya." "Na teriak yuk!" "Biar apa?" ...