"Aaaaa!" Jerit Ninis, Luis langsung membekap mulut Ninis.
"Berisik banget sih lo!" Ninis memukul-mukul tangan Luis yang membekapnya, Luis melepaskan Ninis.
"Eh lo mau bikin gue mati hah! Gue bisa kekurangan oksigen tau gak!" Nafas Ninis tersenggal-senggal.
"Lebay. Lagian ngapain lo teriak hah?"
"Ya gue kira lo orang jahat lah!"
"Oh ya? Lo tau ga? Gue kebangun nih terus ngga bisa tidur lagi."
"Ya terus?"
"Lo tau ngga gue kebangun gara-gara apa? Gara-gara tadi gue denger orang nangis, katanya nangis karena putus cinta karena sang pujaan hati baru jadian sama orang lain."
Jleb!
"Hust, jangan bilang siapa-siapa dong, plis! Ternyata bener yang Zidna bilang selama ini. Lo cenayang kan? Lo bisa baca pikiran orang kan?"
"Ck. Ngomong apa sih lo?"
"Luis, ajarin gue biar kayak lo. Biar gue bisa baca pikiran orang." Permintaan konyol Ninis membuat Luis tertawa.
"Jadi selama ini lo suka sama Zidan?"
"Diem! Jangan bahas itu! Gue lagi gak mood!"
"Bukannya kalian sahabatan? Dan menurut gue lebih baik sahabatan lah, dari pada pacaran terus ujung-ujungnya putus eh jadi kayak orang asing."
"Ya jangan ujung-ujungnya putus dong, ujung-ujungnya di pelaminan lah."
"Cih anak kecil ngomong apaan? Sekolah dulu yang bener dek! Perbaikin tuh nilai ancur!"
"Loh? Kok lo tau nilai gue ancur? Tuh bener kan lo cenayang kan? Ayo jawab jujur!" Ninis mendekatkan wajahnya pada wajah Luis, memicingkan matanya.
Tanpa Ninis sadari, jantung Luis berdetak dua kali lipat, dan Luis berharap Ninis tidak mendengarnya. Ninis memundurkan kembali wajahnya.
"Kenapa lo? Kok bengong?"
"Luis?"
"Woy!"
"Luis!"
"Dih kesurupan ya lo?"
"Lo ngelihat hantu?"
"Is jangan nakut-nakutin dong."
"Lo kenapa ogeb?"
"Luis!"
"Luis Anggara!"
Luis speechless. Luis memegangi dadanya.
"Lo kenapa? Lo sakit? Ish sini duduk." Ninis menuntun Luis untuk duduk.
"Bentar gue ambil minum ya? Sekalian obat? Atau lo mau makan juga?" Luis menggeleng.
"Gue kenapa?" Gumam Luis.
"Hah ngomong apaan lo?" Luis menggeleng lagi.
"Aneh lo. Udah ah gue mau tidur lagi. Dah Luis! Selamat malam! Jangan bengong aja, nanti lo kesambet." Ninis meninggalkan Luis yang masih duduk. Luis kembali memegangi dadanya.
"Kayaknya besok gue harus periksa. Jantung gue kenapa ya?" Luis kembali ke kamar dimana ia tidur, ya bersama Zidan dan Gazha. Alasan mereka tidak tidur di ruang tamu adalah karena ingin mengobrol, Gazha tidur terlentang di kasur, sedangkan Zidan di karpet, dari pada Luis harus tidur bersama keduanya ia lebih memilih tidur di sofa yang ada didalam kamar Zidan.
Luis baru saja memejamkan matanya, tetapi suara orang menangis terdengar di telinganya, Luis tahu siapa yang menangis. Luis bangkit dari tidurnya, menggedor-gedor pintu kamar sebelah, ya kamar Zidna, untung saja kamarnya tidak dikunci jadi Luis bisa membukanya.
"Woy kalo nangis tau diri dong, dirumah orang malem-malem lagi, lo ganggu orang-orang tidur tau gak? Lo pikir tangisan lo merdu seperti lagu pengantar tidur? Tangisan lo itu bikin telinga orang mau pecah! Makanya tuh kenapa Zidna ngga bangun, lo tau kan Zidna gimana orangnya? Dia paling benci diganggu, bukan Zidna aja sih yang benci diganggu, semua orang juga benci diganggu. Coba lo bayangin lo diposisi Zidna? Lagi tidur terus dibangunin sama orang yang lagi nangis, dan ya nangis karena hal yang ngga penting. Gimana? Dongkol kan?" Ucapan pedas lolos begitu saja dari mulut Luis, membuat Ninis diam seketika.
"Terserah gue dong! Ini hidup gue, napa lo yang sewot!"
"Hidup lo bikin hidup orang lain menderita."
"Kalo lo ngga bisa tidur karena gue nangis, ya lo sumpel aja telinga lo pake earphone!"
"Ck. Dasar cengeng, cerewet, bawel, berisik!"
"Kenapa lo jadi ngata-ngatain gue?" Ninis yang tadinya duduk kini berdiri dan berjalan menghampiri Luis di ambang pintu. Ninis mendorong Luis, lalu mengunci pintu kamar Zidna.
"Ish dasar manusia ngga jelas." Gumam Ninis. Mata Ninis terasa perih, mungkin ini efeknya menangis lama, Ninis melangkahkan kakinya ke balkon kamar Zidna.
Angin malam membuat tubuh Ninis dingin, Ninis memeluk dirinya sendiri. Ingin mengambil selimut ataupun jaket, tetapi Ninis mager, malas gerak.
"Kalo ngga kuat sama angin malam jangan sok-sokan." Ninis mengernyitkan alisnya mendengar suara itu, lalu menoleh ke balkon sebelah, Luis berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada, matanya lurus ke depan.
"Lo tuh! Ikut-ikutan aja! Tadi gue didapur lo ngikut, gue disini lo ngikut!"
"Jodoh kali."
"Amit-amit!"
"Ye awas aja lo nanti suka sama gue."
"Ngarep."
"Tapi kok lo bisa suka sama Zidan?" Nada bicara Luis mulai terdengar serius.
"Ya bisa lah kan gue normal."
"Zidan kan sahabat lo."
"Gue itu suka sama Zidan dari dulu, gue juga sering nanyain soal Zidan ke Zidna waktu Zidan belum pindah kesini."
"Zidan tau soal perasaan lo ke dia?" Nini menggeleng pelan.
"Tadinya Zidna mau ngasih tau ke Zidan tapi gue larang."
"Kok lo bisa sih nyembunyiin perasaan lo di depan Zidan?"
"Yaiyalah Ninis gitu loh."
"Kalo Zidan tau perasaan lo gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana, dia taunya gue suka sama dia pas dulu."
"Suka apa cinta sih?"
"Nggak tau gue."
"Yaudah ikhlasin aja kali, lo nggak mau persahabatan lo hancur kan?"
"Iya lo bener."
"Kalo ada yang nembak lo nanti gimana?"
"Ya siapa dulu yang nembak, kalo Zidan ya gak mungkin gue tolak lah!"
"In your dream."
"Siapa tau jadi kenyataan kan?"
"Iya iya. Sebahagia lo."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zidna ✔ (Completed)
Ficção AdolescenteCover by @marscaprico Tentang perjalanan hidup Zidna Marella🌸 "Jangan lupa bahagia ya?" "Dingin." "Iya dingin kayak lo." "Langitnya indah ya Na, kayak lo." "Hati manusia itu seperti laut," "Tidak ada yang tahu isinya." "Na teriak yuk!" "Biar apa?" ...