***
"Lo yakin mau sekolah?"
"Lo udah gak pusing ?"
"Badan lo udah nggak demam kan?"
"Tapi nanti istirahat lo jangan minum es ya?"
"Terus nanti istirahat lo harus makan nasi, bukan mie ayam."
"Obatnya jangan lupa dibawa Na."
"Obatnya diminum pas istirahat."
"Biar lo cepet sembuh."
"Eh emang lo udah sembuh belum?"
"Kalo belum, ngapain lo paksain berangkat sih?" Cerosos Zidan, membuat Zidna kesal.
"Ck, bawel." Zidna meninggalkan Zidan yang masih duduk di ruang makan.
***
"Na lo jangan duduk ditaman. Cuacanya mendung, nanti lo demam lagi, kalo mau baca novel, baca di kelas aja ya? Plis Na, demi kesehatan lo." Ini kadang yang Zidna tidak suka dari Zidan, Zidan itu terlalu posesif.
Mobil yang Zidna dan Zidan tumpangi sudah sampai di depan sekolah, Zidna segera turun dari mobil, tidak menghiraukan Zidan yang dari tadi terus mengoceh.
Zidan mengikuti Zidna, kini Zidna duduk di bangku taman seperti biasanya. Zidan juga ikut duduk.
"Pergi." Usir Zidna.
"Gak, nanti lo sakit lagi."
"Gue pengen baca."
"Baca aja."
"Kalo ada lo ngga fokus."
"Nanti lo sakit lagi Na, dengerin gue, ayo baca dikelas aja."
"Lo berisik." Nada bicara Zidna dingin, membuat Zidan takut.
"Oke, gue pergi." Zidan beranjak dari duduknya, lalu pergi, sesuai permintaan Zidna, sungguh Zidna tidak suka jika ada seseorang yang mengganggu aktivitas yang ia sukai, termasuk jika Zidan yang menganggunya.
Zidna memasang earphone di telinganya, lalu mulai membaca novelnya.
Zidna merasakan ada seseorang yang duduk disebelahnya.
Apakah Zidan balik lagi? Zidna tidak menghiraukannya. Tetapi saat melihat kakinya, itu bukan sepatu Zidan.
Zidna segera melihat seseorang yang duduk disebelahnya. Orang itu tersenyum kikuk pada Zidna.
Zidna menatapnya datar. Luis lebih rapih pagi ini, bajunya dimasukkan, rambutnya juga terlihat lebih rapih. Zidna mengalihkan pandangannya pada novelnya lagi. Zidna yang merasa pundaknya ditepuk, kembali menatap orang disebelahnya itu.
"Copot dulu earphonenya." Suruhnya. Zidna paling tidak suka disuruh-suruh.
"Kamu kira aku Luis ya?" Nada bicaranya lembut. Zidna melepas earphonenya.
"Aku bukan Luis."
"A-aku Prince." Zidna menatapnya tidak percaya, tidak, pasti Luis bohong, Luis kan bisa membaca pikiran orang lain, jadi bisa saja ia mengaku menjadi Prince.
"Aku bukan Luis Zidna, aku Lucky, Lucky Anggara, aku kembarannya Luis." Zidna masih menatapnya tak percaya.
"Iya, dia Lucky kembaran gue." Zidna memandang kedua laki-laki berwajah sama didepannya secara bergantian. Zidna menggeleng. Luis tertawa.
"Lo pasti nggak percaya? Tapi ini faktanya. Gue sama Lucky emang suka sama lo, kita bersaing secara sehat. Gue ngedeketin lo tiap hari, tapi nggak pernah lo rerspon, sedangkan Lucky, hanya lewat surat tapi lo respon. Lucky emang orangnya pemalu Na. Kayaknya lo suka sama Lucky ya Na? Nggapapa gue ngalah demi kembaran gue." Zidna masih mencerna maksud ucapan Luis, sungguh otaknya mengapa tiba-tiba sulit untuk berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zidna ✔ (Completed)
Novela JuvenilCover by @marscaprico Tentang perjalanan hidup Zidna Marella🌸 "Jangan lupa bahagia ya?" "Dingin." "Iya dingin kayak lo." "Langitnya indah ya Na, kayak lo." "Hati manusia itu seperti laut," "Tidak ada yang tahu isinya." "Na teriak yuk!" "Biar apa?" ...