BAGIAN SATU : Bulan Ravela Nanda

3K 141 4
                                    

Selamat membaca Bumi Bagian Satu! Budidayakan Vote sebelum membaca >3

***

Jangan sekarang,
Aku belum siap untuk jatuh hati, lagi.

****

Pagi yang cerah untuk sebuah mood yang bagus. Awan biru mengepul dengan gemercik sinar mentari yang perlahan mulai muncul. Seorang gadis turun dari sebuah kendaraan beroda empat yang baru saja memasuki kawasan sekolahnya. Senyum manis tak pernah pudar dari wajahnya, setiap orang berlalu yang di kenalnya juga menebarkan seuntai senyuman kepada gadis ini.

Setelah hampir dua bulan menghabiskan kegiatan unfaedahnya dirumah, akhirnya hari ini juga dia resmi menjadi seorang siswi kelas sebelas di salah satu sekolah favorit yang terletak di ibukota.

Gadis itu mempercepat langkahnya untuk sampai segera di mading dan melihat daftar nama serta kelas yang akan dimasukinya. "Eh sebentar dong mau liat" Ia menyelinap di dalam kerumunan makhluk yang tengah sibuk melihat daftar nama juga walaupun ada yang pura-pura melihat saja supaya bisa berdempetan, modus yang klasik.

Seseorang menepuk pundak gadis itu, spontan ia langsung membalikkan badan. Seorang gadis dengan semerbak permen karet muncul dengan wajah penuh rindu. Dan tanpa memberikan aba-aba ia langsung memeluk erat tubuh rampingku. "BULAN RAVELA NANDA GUE KANGENN!!!!" teriak gadis tepat di bagian telinga luar gadis yang akrab dipanggil Bulan itu.

Bulan menutup telinganya, berusaha menghindar dari teriakan tujuh oktaf yang sangat nyaring melebihi suara saat pengumuman ujian kelulusan kelas dua belas. Ia menarik gadis itu keluar dari kerumunan, karena sebagian orang sudah mengeluh dengan teriakan gadis itu.

"Jadi, lo siapa?" ujar Bulan dengan tatapan serius. Gadis yang berdiri di depannya itu tertawa kecil, "Yeu, recehan lo jadul kaya kacamata Pak Hasnan!" ucapnya sembari menempeleng pelan pipi Bulan. Bulan tertawa.

Lalu ia tak sengaja memperhatikan sesosok pria yang sedang melihatnya, sedari tadi. Tak terlalu mempedulikan nya juga ia menatap ke arah gadis yang kerap dipanggil Dhea atau lebih tepatnya Dhea Amanda, penakluk kecoa dingin seantero sekolahan.

Sembari berjalan menuju kelas baru di kelas sebelas, mereka sibuk memperundingkan kegiatan meja bundar yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya. "Eh, kayanya ada anak baru" ucap dhea seraya membenahi sedikit poni depannya yang sedikit berantakan.

"Siapa" ucap bulan menatap lurus kedepan, tanpa berniat melirik ke arah lain. Baru lagi gadis yang di sebelahnya ingin bertanya dia sudah memotong, "Nanya" ucapnya lagi, tanpa ekspresi. Sedangkan gadis disebelahnya sudah menebar senyum penuh kekesalan, dia harus extra sabar jika keadaan seperti ini, harus.

*****

Bulan Ravela Nanda. Jangan panggil nama kedua dan ketiga, tidak suka. Tidak menggunakan penekanan namun jangan dijalani, ini sebuah peringatan.

Bulan, menurut sebagian orang aku adalah seorang yang kerap memiliki pribadi yang tenang, murah senyum bahkan dengan seseorang yang tidak kukenal sekalipun. Aku sering mengikuti beberapa Olimpiade Sains Nasional maupun Olimpiade Bahasa, bidangku sangat handal dalam kedua pelajaran itu.

Aku mempunyai sebuah prinsip dalam hidup. Katanya jika hidup ingin berhasil, maka jalankan setiap masalah didalamnya, dan prinsip itulah yang membuat kita bangkit dalam suatu masalah. Prinsip ku sederhana hanya ingin menjadi seorang yang bisa mengelilingi datarnya bumi ini. Biar aku tau setiap titik dari indahnya bumi yang pantas untuk dikagumi.

Satu lagi, ini sebuah prinsip. Prinsip untuk tidak jatuh cinta, kepada siapapun. Bahkan selama ini aku tidak terlalu over jika bertemu dengan seorang pria, karena tidak mau jatuh hati dulu sebelum sukses pada masanya. Aku harap dinding yang sudah dilapisi baja ini tidak terkutik dengan seorang pria pun.

"Lan, gue kekantin mau nitip?" seorang gadis menawari, dia teman sebangku dari setahun yang lalu sampai setahun kedepan, membosankan namun terkadang mengasyikkan karena gadis itu memiliki jiwa yang sangat familiar. Aku menggeleng, membalik lembar bacaan dari sebuah novel. Gadis itu pergi.

"Bulan masih aktif di OSIS kan?" tanya seorang sembari mendekati mejaku. Rayhan, sang ketua kelas yang juga ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah.

Aku mengangguk. Tidak mengatakan sepatah kata namun menatap kearah lawan bicara.

"Nanti pulang sekolah para struktur ngumpul ya, mau bahas tentang jadwal tiga bulan kedepan" Pria itu tersenyum, sebelum aku mengangguk dia sudah terlebih dahulu meninggalkan.

Aku berdiri, menggeser kursi yang memiliki bunyi decitan lumayan nyaring karena suasana kelas yang sangat tenang. Beberapa orang melihatku, lalu beralih ke aktivitas nya lagi.

Aku menghirup udara segar saat menginjakkan kaki ku di sebuah taman yang menjadi tempat favoritku. Keadaan lapangan sangat ramai, membuat ku malas untuk mengunjungi perpustakaan, naik ke rooftop, ataupun ke kantin. Karena jalur nya juga akan melewati lapangan.

Hanya ada beberapa orang ditaman ini. Karena tempatnya juga dibelakang sekolah, membuat sebagian banyak orang lebih memilih pergi ke taman yang terletak di tengah lapangan, lebih efisien.

"Bulan ya?" aku membalikkan badanku saat tau ada yang memanggil. Pria asing yang sama sekali tidak kukenal.

Aku hanya mengangguk.

"Gerhana dermaga," seuntai tangan mengapung di udara pertanda perkenalan pertama. Dengan sedikit ragu, aku membalas tangan itu "Bulan".

"Kita sekelas" Pria itu berucap sembari tersenyum hangat.

"Gak tau" aku berjalan untuk mencari sebuah tempat duduk, lelaki itu mengikut.

Tidak ada balasan atau jawaban, hanya keheningan. Baik dari Bulan ataupun Gerhana, keduanya saling menatap ke arah kolam ikan.

"Kenapa sebagian orang nganggap kamu memiliki pribadi yang tenang? Apa karena Bulan pertanda dari satelit Bumi yang dingin?"

Aku diam. Bukan karena sebuah pertanyaan, namun karena panggilan. Aku-Kamu.

"Tidak dijawab juga tidak apa, suatu saat aku akan mengetahuinya, boleh minta nomor kamu?" tanyanya lagi sambil mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celananya, lalu benda itu di sodorkan kepadaku.

Perkenalan seperti apa ini?
Banyak pertanyaan, seperti wartawan. Lalu meminta nomor ponsel bahkan ini adalah pertemuan pertama kami.

"Maaf tidak bisa, aku pergi dulu" aku berlalu meninggalkan pria itu sendirian dengan tangan yang masih menyodorkan ponsel dari tangannya.

Bukannya tidak mau memberi, tapi aku hanya gugup. Pesonanya baru saja meruntuhkan sebuah dinding dari baja yang bahkan sudah ku atur agar tetap kokoh.

Apa ini rasa yang setiap saat diceritakan Dhea kepadaku? Kuharap tidak! Aku tidak mau terlarut dan hati jadi taruhannya.

Aku tidak mau jika harus menggantungkan sebuah harapan, menunggu sebuah balasan, berpikir akan sebuah kepastian. Tidak mau. Terlebih lagi kita akan kesal jika dia tidak ada kabar.

Bumi, tolong katakan kepada hati bahwa lupakan pria tadi. Jangan mudah memiliki rasa hanya karena sebuah pesona pada saat pertemuan pertama. Aku tidak siap jika harus merasakan hal yang membuat sebuah hati terlena. Terlalu berharap juga tidak bagus, bisa menyebabkan menjadi lupa segalanya karena hal terlalu di fokuskan ke dunianya.

Sekali lagi, aku tidak siap. Dan aku akan mundur. Atau jika tidak, prinsipku yang akan menjauh.

******


Haloo!
Bulan disiniii hehe, jangan lupa vote ya see u!

Salam,
@wilyahalfanisaa

18 November 2018

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang