BAGIAN LIMA : Dia Lagi

766 53 2
                                    

Selamat membaca Bumi Bagian Lima! Jangan lupa untuk mengutamakan Vote sebelum membaca, hargai usaha penulis. Terimakasih pembaca Bumi ❤

***

Jika di takdirkan untuk menghabiskan satu hari denganmu, aku lebih senang menyatakannya di alam mimpi bukan di alam dunia. Karena kebanyakan orang berkata bahwa mimpi lebih indah dari kenyataan. Itu alasannya.

***

Semalam, aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Apakah mimpi? Tapi kenapa seperti nyata. Aku mencoba menetralisirkan kembali ingatan terakhirnya. Yang di ingatnya perpisahan terakhir adalah ketika lelaki itu ingin mengantarkannya pulang tanpa ada lecet sedikitpun.

Bumi,
Itu mimpi atau nyata?
Tapi kenapa sekarang aku masih berada utuh di tempat tidur dengan baju sekolah yang masih tertata rapi di tubuhku.

Kalaupun itu nyata, apa maknanya?
Kenapa harus dia?
Kenapa harus dia sang pembuat bahagianya?
Mama pernah berkata, seseorang yang pernah membuat kita bahagia belum tentu menetap selamanya. Dan kulihat dia bukanlah orang yang tepat. Untuk kesekian juta maupun ribuan kalinya, kumohon jangan dia!

-Bulan, padahal masih pagi sekali tetapi rasanya aku ingin menulis.

Aku bangkit, mengganti pakaian putih abu-abu itu dengan seragam pramuka. Setelah aku selesai mandi pastinya. Setelah kurasa semuanya telah lengkap aku turun kebawah menghampiri kedua orangtuaku yang memang mereka selalu ada setiap paginya, ah tidak selalu tetapi terkadang.

"Selamat pagi anak Mama!" Mama mencium keningku, aku bisa merasakan kerinduan dari sang ibu yang tidak sibuk untuk pagi ini.

Aku menarik kursi, duduk di sebelah kanan Papa yang saat itu sedang meneguk segelas kopi sambil membaca sebuah koran harian yang tidak pernah absen di lemparkan ke dalam teras rumah.

"Bagaimana sekolahmu?" Aku melirik sebentar ke arah Papa, tatapannya tidak beralih ke koran, hanya mulutnya saja yang berucap. "Baik" ucapku singkat dan bahkan sebenarnya malas untuk menanggapi.

"Bagus, tidak usah terlalu fokus ke Karatemu itu, sama sekali tidak penting bahkan bisa mengganggu pelajaranmu."

Ini yang membuatku malas jika Papa sudah membahas seputar sekolah, ujung-ujungnya akan di sangkutpautkan dengan Karate. Kali ini aku lebih memilih untuk tidak menjawab, menghabiskan segera makananku, lalu pergi setelah berpamitan.

Pagar kubuka, sedikit demi sedikit terlihat seorang pria dengan seragam pramuka yang bersimbol sekolah yang sama denganku. Pria itu berbalik, senyumnya perlahan mengembang,"Hai!" ucapnya mencoba basa-basi.

Aku menautkan satu alisku. Aku bahkan tidak pernah menyuruhnya untuk menjemputku, bahkan darimana dia tau alamatku, sedangkan notabane nya di sekolah adalah seorang siswa baru.

"Ngapain lo disini,"

"Kebetulan lewat"

"Alasan klasik, gue nanya lo ngapain disini?"

"Aku mau ngejemput kamu"

Aku terbungkam. "Gue gak pernah nyuruh lo on time di depan rumah gue buat ngejemput gue!" ketusku.

"10 menit lagi Harapan Bangsa bel masuk dan kalo ada yang telat kamu pasti udah tau akibatnya, yaudah aku duluan,"

Lelaki itu menyalakan motor sport hitamnya, aku terdiam. Apapun alasannya siswa maupun siswi yang terlambat semenit saja di Harapan Bangsa akan di hukum membesihkan gudang horror yang jarang di kunjungi.

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang