BAGIAN TUJUH : Kebahagiaan Seperti Dulu

630 44 0
                                    

Selamat membaca Bumi Bagian Tujuh! Budidayakan Vote sebelum membaca, terimakasih >3

***

Aku pernah merasakannya, dulu. Sebelum masa kelam itu menghampiri, lalu si pembuat bahagia itu pergi dan tak pernah kembali.

****

Toko Buku di salah satu pusat kota Bandung ini tak pernah sepi, terlebih lagi jika ada novel Best seller, itu membuat setiap orang yang datang berpikir dua kali. Mau berdempetan atau menunggu buku habis. Tapi tujuanku kesini hari ini bukan untuk mencari sebuah buku bacaan, namun hanya buku catatan.

Setelah mendapatkan buku dengan motif sampul dream catcher itu aku langsung keluar, tidak langsung pulang. Aku berjalan ke salah satu taman kota. Letaknya tidak jauh, sekitar 10 menit jika harus berjalan kaki. Hitung-hitung penghematan.

Dengan berbekal mentari yang masih setia mengeluarkan uap panasnya dan juga buku catatan berbonus sebuah pena karakter, aku duduk di sebuah kursi di bawah pohon yang kurasa cukup menghalau dari percikan matahari. Aku mulai menulis.

Surat untuk Bumi.
Di Bumi, 16 Juli.
Cuaca kota Bandung, panas tak terkendali.

Di satu sisi aku ingin mencari dan menemukan, tetapi sisi lain berkata Tidak usah! Kamu akan kembali mengingatnya. Terlebih lagi semuanya tersalur di situ. Mengulang setiap dari lembarnya membuat hati ini sedikit teriris, masih ada rasa tidak ingin kehilangan. Dengan 3 tahun kenangan yang indah pula.

Bagaimana tidak indah, setiap menit nya tak pernah terlewatkan untuk saling bertukar cerita, saling memberi solusi, terkadang menghitung bintang, menerka perputaran rotasi Bumi, melihat Bulan sedang apa, ataupun mencari tahu tentang kapannya peristiwa Gerhana Bulan. Mengajak jalan kemudian makan, bermain timezone layaknya adik kakak, membaca buku bermodal gratis di gramedia, makan nasi goreng di pinggiran jalan, menemani latihan setiap pagi dan malam, selalu mendukung jika ada pertandingan. Banyak lagi, namun setiap hal itu akan sakit jika di ingat.

Aku percaya satu hal ini Bumi,
Semanis apapun hubungan, seindah apapun kebarsamaan, sebanyak apapun kenangan,
yang di takdirkan pergi tetap akan pergi.

Terimakasih Bumi, harinya.

Ttd,
Lit.

Aku menutup buku yang baru ku isi di halaman pertama itu. Menghirup nafas perlahan sambil memandangi sekeliling.

Aku memicingkan mataku, berharap orang yang kulihat di ujung sana itu adalah sang manusia pengganggu, tapi hanya terkadang.

Semakin lama semakin mendekat bahkan sampai akhirnya dia menawarkan untuk duduk di sebelahku, spontan aku mengangguk. Sedetik kemudian merutuki perbuatanku.

"Sendiri aja?" dia berucap.

Aku mengangguk.

"Sekarang 'kan uda enggak lagi." dia tersenyum manis ke arahku. Aku berpaling, berusaha melihat ke arah lain asalkan jangan menatapnya.

"Aku denger kamu ikut bela diri?"

Aku mengangguk. "Tau dari siapa,"

"Insting berkata, dan ternyata bener!" dia tertawa kecil.

Aku tersenyum lirih.

"Mau makan?"

Aku menggeleng,"Udah kenyang."

"Insting berkata, kamu hanya pura-pura kenyang. Udah ayo, aku bayarin. Anggap aja sebagai tanda pertemanan, oke?" Dia, Gerhana. Gerhana berdiri, menyodorkan tangannya ke arahku untuk membantuku berdiri, namun aku menolak. Berdiri sendiri, lalu berjalan canggung di sampingnya.

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang