BAGIAN ENAM : Diary Tanpa Nama

669 43 2
                                    

Selamat membaca Bumi Bagian Enam semua! Budidayakan Vote dulu sebelum membaca, terimakasih >3

***

Apa setiap wanita pantas untuk di perjuangkan?
Padahal notabane-nya mereka adalah pemain perasaan.

-Kasa

****

Aku menghirup udara malam dari atas rooftop rumahku. Menarik nafas dalam sekali sampai menghembuskannya secara perlahan. Aku meneliti Bumi ini pada saat malam hari. Tertulis di buku harian itu bahwa Bumi tau saat keadaan kita sedang kecewa kepada seseorang, Bumi selalu tau jika hati kita sedang bermasalah, solusinya adalah ceritakan seluruhnya kepada Bumi, yakinlah Bumi adalah pendengar yang baik dalam setiap masalah. Begitu yang kubaca.

Seseorang menepuk pundakku. "Woi! Galau ya?" tanyanya lalu menyadarkan tangan pada pegangan sambil menatap langit seperti apa yang aku lakukan.

"Katanya kalo kita natap bintang di malam hari, itu bisa nenangin setiap masalah," Aku menatap lelaki sok puitis ini, sungguh sama sekali tidak cocok dengan setelannya. "Alay lo!" satu tempelengan mendarat ke arah pundaknya.

Lelaki itu mendecih,"Adek durhaka lo emang!"

Hening. Tidak ada pembicaraan lagi. Aku yang sedang fokus menatap bintang yang muncul dengan malu-malu, sedangkan lelaki itu, Devan — abang pertamaku, itu sedang sibuk mengetik pesan di ponselnya.

Memang rasa suka seperti itu, apalagi jika sudah memiliki perasaan tidak ingin kehilangan, susah lupa. Benar kan Bumi? Kamu pernah mengatakannya dulu. Astaga, aku keinget lagi.

Aku membaca buku harian itu. Aku rasa sudah lebih dari ratusan kali aku membaca harian yang tulisannya tidak berubah seiring berjalannya waktu. Yang aku tau, aku menemukan buku itu terjatuh dari truk angkutan sampah, aku mengira ada pemiliknya yang akan mencari ternyata sama sekali tidak.

"Woi masuk, ntar di samber kunti lagi lo!" Devan menjitak kepalaku dari belakang setelah itu firasatku mengatakan bahwa dia telah masuk dan turun ke bawah.

Aku masuk, turun ke lantai dua lalu masuk ke kamar. Lelaki menyebalkan itu ada di kamarku, sekarang. Padahal dia punya kamar sendiri tetapi mengapa harus mengacaukan kamarku.

"Ngapain lo di sini."

Lelaki itu mengubah posisi nya yang sedari tadi telungkup menjadi duduk.

"Mau nemenin adek gue yang kayanya abis putus cinta, soalnya muka pas-pasan nya kaya gaada gairah hidup. Miris gue. Makanya siapa tau dia mau cerita sama artis Korea kaya gue." ucapnya sangat pede sekali.
Aku memutar bola mataku malas, memilih duduk di meja belajar di bandingkan duduk di tempat tidur bersamanya. Tidak sudi dia, bisa di katakan jeruk makan jeruk pula.

Gerhana, dia memang begitu. Harus di pancing dulu baru mau ngomong, seperti ayam eh salah ikan. Mari kita coba, pasti berhasil.

"Semua cewek emang gitu, suka mainin perasaan. Notabane lainnya tuh pemberi harapan palsu." lelaki yang sedang mengutak-ngatik ponsel nya di tempat tidur itu mulai melantunkan perkataan yang membuatku menatapnya malas.

"Sok tau lo!" kulemparkan sebuah pena yang berada di meja belajar itu tepat mengenai pangkal kepalanya. "Dia bukan tipe yang kaya lo sebut!"

Lelaki itu mengusap kepalanya sambil menyunggingkan senyum licik. Dasar lelaki kardus!

"Ngapain lo senyum-senyum gak jelas!"

Dia meletakkan ponselnya di tempat tidur, lalu memukulkan kedua tangannya sehingga terdengar suara Plok plok plok. "Adek gue uda dewasa, bangga gue sebagai panglima perangnya."

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang