Maafkan saya Om, saya gak becus menjaga anak Om bahkan melukainya. Saya udah merenggut semuanya, Om boleh pukulin saya sepuasnya. Ananda minta maaf.
=========
Mingyu's Pov
Seketika dunia gue runtuh.
Gue bahkan lupa bagaimana cara berpijak dengan benar seusai mendengar kenyataan yang cukup menampar. Tubuh gue roboh, dengan punggung yang bersandar di dinding langsung beringsut lemas ke lantai. Semuanya menjadi rasa sakit luar biasa ketika sesak di dada gue semakin meraja.
Gue gak baik-baik aja.
Mendengar Wonwoo terluka mungkin satu dari alasan kesedihan yang ada, tapi saat tahu bahwa itu dikarenakan keguguran—yakni kehilangan darah daging kami—astaga, calon anak gue sendiri.
Beneran gak habis pikir gue kenapa semua bisa jadi seperti ini? Bahkan kemarin—gak, tadi pagi sebelum gue berangkat kerja semua masih normal seperti biasanya. Meski beberapa waktu sebelumnya ada perubahan yang entah kenapa gue gak menyadarinya. Mungkin kami gak peka.
Tapi, serius, gue gak nyangka akan ada kehidupan lain dalam perut Raden.
Kami saling mencintai tentu saja, gue selalu bermimpi untuk menjadi suami bahagia dengan menghabiskan sisa hidup gue dengannya. Meskipun itu tanpa sosok bayi karena kami sama-sama lelaki, gue coba menerima.
Gue gak masalah asalkan yang menemani hingga tua adalah dia.
Tapi, kenyataan?
Takdir kehidupan?
Seolah permainan skenario paling kejam menghantam, kami kehilangan sesuatu berharga yang orang bilang keajaiban. Penyesalan datang ketika gue dengan bodohnya mencari benang tipis dari masa lalu dan mengaitkannya dengan masa sekarang.
Keanehan Wonwoo yang mendadak manja dan super moody adalah pertanda bahwa dia mengandung. Tujuh minggu bayangkan, nyaris dari dua bulan yang lalu ada buah hati kami di dalam tubuh Wonwoo. Buah ketololan gue juga karena terlalu nafsu sampe lupa akan bahaya yang ada.
Andai gue peka, andai gue ada di sisinya, mungkin gak akan semenyesal ini. Gue gak akan sekacau ini karena gue merasa dipercundangi oleh keadaan. Tapi balik lagi, semua adalah salah gue sehingga percuma aja buat nyari pembelaaan.
"Udah dek," tepukan halus dari siapapun itu gue gak tau mendarat di bahu. Pikiran gue kosong, benar-benar down. "Mending kamu temenin Wonwoo gih. Dia pasti butuh kamu."
Gue menurut tanpa suara, membiarkan tubuh lemah ini bergerak. Di depan sana Rowoon menatap gue prihatin diikuti tatapan mengasihani dari Encing Beki dan Encang Ceye. Ah, jangankan mereka, gue aja kasihan dengan diri gue sendiri.
Kasihan karena menjadi cowok atau katakanlah ayah paling gak berguna untuk calon anak gue yang udah gak ada. Dada gue makin sakit mengingatnya, tapi gak sesakit ketika menemukan tubuh belahan jiwa gue tertidur lemah di ranjang sana.
Dengan keraguan dan segala penyesalan yang masih menggelayut sebagai beban, gue langkahkan kaki dan memberanikan diri menghampiri Wonwoo yang terlelap. Wajahnya pucat dengan tangan yang ditusuk jarum infus. Gue meringis namun digenggam juga tangan kurus itu penuh sayang.
Gue cermati tubuhnya dari atas ke bawah, hingga terhenti di perut Wonwoo yang masih rata namun entah kenapa memberikan dampak luar biasa. Gue nyaris diserang air mata untuk keluar saat itu juga, tapi gue tahan dengan mengecup punggung tangan Wonwoo.
Gue juga berikan sentuhan di sana, sesekali di rambut hitamnya. Mentransfer tenaga yang gak seberapa hanya untuk menguatkan dirinya yang pasti akan sangat amat terkejut jika tersadar nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Fanfiction[𝙊𝙣 𝙂𝙤𝙞𝙣𝙜] #𝐒𝐞𝐪𝐮𝐞𝐥 𝐨𝐟 𝐒𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐞𝐫 𝟖 𝘘𝘶𝘦𝘳𝘦𝘯𝘤𝘪𝘢 (𝘯.) 𝘢 𝘱𝘭𝘢𝘤𝘦 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘸𝘩𝘪𝘤𝘩 𝘰𝘯𝘦𝘴 𝘴𝘵𝘳𝘦𝘯𝘨𝘵𝘩 𝘪𝘴 𝘥𝘳𝘢𝘸𝘯, 𝘸𝘩𝘦𝘳𝘦 𝘰𝘯𝘦 𝘧𝘦𝘦𝘭𝘴 𝘢𝘵 𝘩𝘰𝘮𝘦; 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘭𝘢𝘤𝘦 𝘸𝘩𝘦𝘳𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘢𝘳𝘦 𝘺�...