Menular

8.6K 1.1K 85
                                    

KARA

Berulang kali aku melirik tanganku—ini aneh. Aku terus menggigiti bibirku dengan gugup, kenapa aku berdebar-debar seperti ini.

"Ab—" aku menarik napas dalam-dalam. Melirik Jaquen yang mengemudi dengan tenang.

"Eh—" aku kembali kaget saat Aber tiba-tiba menyandarkan kepalanya dibahuku.

"Sangat membosankan tinggal di rumah sakit..." aku menoleh pada Aber lalu melirik Jaquen. Kami sama-sama saling melempar pandangan dan bertanya-tanya. Jaquen hanya menggeleng pelan dan meringis.

Ok, aku rasa ada sesuatu sampai dia aneh sekali. Dia ini Abercio Alcander, beruang pemarah dan sekarang dia merajuk padaku seperti bocah usia lima tahun?

"Ab..." panggilku pelan sambil menarik tanganku yang masih dalam genggamannya sejak kami keluar dari rumahnya.

"Apa tadi kau habis jatuh dan kau tidak mengatakan pada siapa-siapa?" jujur aku jadi kawatir melihat sikapnya yang berubah seperti ini, ini lebih menakutkan.

"Hmmmm—Aku lelah..." gumamnya tanpa bergeser dari tempatnya duduk.

"Apa jadwalmu hari ini?" gumamnya masih memejamkan mata.

"Um, jadwalku?" aku mengerutkan dahiku.

"Hari ini ya? Oh, aku baru ingat. Aku dan Harry akan ke kampus, memberikan laporan untuk tugas kami. Lalu menj—"

"Harry?" dia menegakkan tubuhnya dan melepaskan tanganku lalu bergeser menjauh dariku.

"Pacarmu selain Damian?!" protesnya yang terdengar kesal.

"Kau memang wanita penggoda!" serunya lalu memalingkan pandangannya ke luar jendela.

"Aku tidak punya pacar selain Damian!" bantahku.

"Harry cuma teman biasa..." aku mendengus, merutuki diriku kenapa aku harus bicara cepat dan berapi-api. Aku tidak wajib memberitahu Aber siapa saja pacarku.

"Tapi kau bilang kau cemburu padanya!" bantah Aber kesal.

"Hah?—" aku mengedipkan mataku kaget mendengar bentakkannya dan itu semakin membuatku merinding. "Ab, kau membuatku takut. Apa kepalamu terasa sakit?" tanyaku kawatir. Mungkin karena dia—maksudku kami berdua semalam terlalu panas di ranjang dan mungkin saja tanpa dia sadari kepalanya terbentur sesuatu atau mungkin juga luka dikepalanya membuat dia jadi aneh.

"Apa kau merasa mual?" tanyaku masih kawatir.

"Katakan sesuatu padaku?" aku mendekat dan menempelkan punggung tanganku ke dahinya. Meraih pergelangan tangannya dan mencari nadinya, memastikan semua baik—setidaknya tidak ada hal gawat.

"Astaga..." aku gugup dan membongkar tasku, mencari ponselku.

"Sialan! Dimana ponsel sialan itu saat panik seperti ini?!" gerutuku yang tak menemukan ponselku dan selanjutnya aku membalik tasku, membuat semua isi tasku berhamburan keluar.

"Apa yang kau lakukan?" aku mengabaikan pertanyaannya dan memungut bra yang jatuh.

Sekali lagi aku bersyukur bahwa Aber buta—bukan bermaksud kejam dengan bahagia karena dia buta. Aku memang biasa menyelipkan pakaian dalam di tasku, ini karena—yah, wanita.

"Mencari ponselku!" sahutku saat aku menegakkan tubuhku.

"Perjalanan ke rumah sakit masih lima belas menit lagi, dan kau—"

"Dengar, aku baik-baik saja. Bahkan sangat baik sekali. Aku sudah mendapat banyak energi..."

"Energi..." spontan pipiku terasa memanas jika ingat kejadian tadi pagi.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang