Funny

8.1K 1.2K 81
                                    

KARA

Aku duduk dengan kikuk di dalam kamar rumah sakit ini. Aber—suamiku yang beberapa saat lalu tanpa sengaja ku siram dengan kopi panas karena otakku tiba-tiba kesal saat dia bergumam 'istri yang baik' hingga membuat ciuman pagi yang romantis itu berubah benar-benar panas—panas dalam arti konotasi yang sebenarnya.

"Damn!" makinya kesal sambil melepas  baju rumah sakitnya.

"Kau tidak boleh marah-marah. Kau baru operasi—" aku meringis. "—di kepala..." aku menunjuk kepalanya yang di balut perban.

Aku heran, dia baru saja operasi di kepalanya tapi seolah-olah dia tidak menjalani operasi apa-apa. Apa karena dia sudah terlalu sering melakukan operasi? Menurut dokter Linsey setidaknya Aber pernah menjadi enam kali operasi akibat kecelakaan itu.

Aku melangkah maju dan mundur lagi saat Aber bergerak dan menoleh menatapku. Dengan salah tingkah aku memalingkan wajahku ke arah lain—mengusir kegugupan ini.

Kembali aku mencoba melirik Aber dari sudut mataku dan dia masih menatapku. Ku gigit bibirku dan menggerakkannya dengan gelisah sementara kedua tanganku memilin ujun kaos kumalku lalu satu tanganku bergerak kikuk membenarkan letak anak rambutku yang bandel karena terus mencuat menari-nari menyentuh pipiku.

Panas, siapa yang tidak akan panas kalau ditatap dengan intens oleh seorang pria sexy dan tampan. Aku menggerakkan tanganku di leherku, berharap ada semilir angin yang dihasilkan dari gerakan telapak tanganku.

"Apa yang kau lakukan?" suara berat itu memecah keheningan.

"Hah? Panas," sahutku cepat dan meringis.

"Eh, bukan. Maksudku,—" aku terdiam dan kikuk. Kenapa aku harus gugup di depannya? Astaga. Ternyata saat dia bisa melihat ternyata lebih menakutkan—lebih menakutkan dari yang dulu saat dia masih pemuda nakal yang suka tersenyum dan mengerlingkan mata pada semua anak gadis.

"Kemarilah..."

"Hah? Bu-buat apa?" aku
Menggosokkan ke dua tanganku ke pinggulku dengan gugup.

"Kemarilah..." aku menatap tangan Aber yang terulur kearahku. Aku menelan salivaku dengan gugup—ragu apakah aku harus maju atau diam disini mengabaikan panggilan Aber.

Aku menarik napas saat Aber menggerakkan tangannya, mewakili suaranya yang berat itu dan perlahan aku maju mendekat padanya. Menerima uluran tangannya.

Tangan besarnya itu menangkap tanganku dan menggiringku mendekat padanya. Tubuhku kini berdiri diantara celah kakinya yang terbuka karena dia duduk di tempat tidur.

"Buatlah dirimu berguna sayang..." jantungku berdesir aneh saat mataku bertemu dengan mata hijaunya dan tanganku sengaja dia letakkan di dadanya—tidak lebih tepatnya di atas kancing baju rumah sakitnya.

Dia menyeringai dan menurunkan pandangannya ke tanganku yang masih diam membeku.

"O-ok..." sahutku gugup. Dengan gemetar aku melepaskan kancing baju rumah sakit itu dan sesekali aku melirik Aber yang menatapku tajam.

Aku menahan napas saat mataku bertumbukan dengan dada telanjang Aber yang mampu membuat seluruh sarafku menegang.

"Bernapas..." gumamnya pelan.

"Hm?" aku mendongak—mata hijaunya terlihat geli dan tak lama tulang pipinya terangkat. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Kenapa? A-apa yang lucu?" tanyaku gugup.

"Aku tidak menyangka. Gadis yang dulu kabur sudah kembali..." tanganku otomatis menegang.

Kabur? Aku tidak kabur. Aku hanya tidak mengingatmu bahkan menurutku itu tidak penting.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang