Joke!

4.8K 923 70
                                    

KARA

"Jangan pingsan..." aku menepuk punggung tangan Aber dan aku tertawa kaku, berharap ketegangan ini mencair. Wajah Aber sudah pucat saat Mom terdengar marah di dalam kamarnya. Aku tidak tahu Mom yang lembut itu ternyata membenci Aber. Yah, ibu manapun pasti akan marah jika putrinya menikah dengan orang yang menjadi penyebab putranya bunuh diri. Tapi kami tidak akan goyah, aku sudah memutuskan untuk memperjuangkan Aber—memperjuangkan pernikahan kami.

"Siapa yang—"

"Tuan Aber,—"

Aku menoleh saat mendengar suara Jaquen bersamaan dengan Aber. Heran, Jaquen selalu saja datang di saat yang tidak tepat atau mungkin saat yang tepat?

"Ada apa?! Kau membuatku kaget saja!" protes Aber kesal sambil menghembuskan napas lega.

"Napas lega?" kataku dalam hati saat melihat gestur tubuh Aber yang terlihat lebih santai daripada beberapa menit yang lalu.

Aber takut bertemu Mom?

Aku menarik bibirku, menggigitnya kuat-kuat supaya tawaku tidak meledak dan mempermalukkannya di depan Jaquen.

"Mr. Wal—"

"Oh, ok. Sayang, aku bukannya tidak mau bertemu dengan ibumu tapi Jaquen membawa berita tidak menyenangkan. Aku harus pergi dulu..."

Aber meremas tanganku dengan lembut dan mencondongkan tubuhnya ke arahku lalu mengecup keningku dengan lembut.

"Aku akan segera kembali begitu urusanku selesai..." dia tersenyum kaku, dia menunduk dan menciumku.

"Jadi kau akan kabur?" bisikku geli.

"Sayang, aku tidak—"

"Cepatlah kembali," sahutku cepat.

Kutarik ujung jasnya, berjinjit dan memberikan ciuman padanya—anggap saja Jaquen itu patung manekin.

"Kau harus berkencan Jaq, supaya pipimu tidak merah setiap melihat bosmu bermesraan..." kataku setelah melepaskan ciumanku dari Aber.

"Hah? Saya—"

"Ya, kau harus berkencan. Tapi tidak dengan sahabatmu yang super cerewet itu!" Aber mengingatkan.

"Hatchii!" seseorang bersin dengan keras di dalam.

"Siiall! Siapa lagi orang yang membicarakanku?!"

Aku menoleh mendengar protes dari suara di dalam kamar, itu suara Faith.

"Aku harus pergi. Ayo, Jaq!" Aber berbalik, beberapa detik kemudia dia kembali berbalik dan segera menarik Jaquen saat dia tidak mengikuti Aber.

"Kau terlalu terburu-buru sayang..." bisikku sambil terkikik geli.

Menatap punggungnya pergi seperti ini seakan mengingatkanku akan kenangan seorang bocah laki-laki kecil yang berbalik sambil berteriak memanggil seluruh penghuni rumahnya karena sesuatu.

"Hhh..." aku tersenyum kecil lalu menghembuskan napas panjang.

Aku berbalik dan menatap pintu dihadapanku. "Pasti ini berat," desahku pelan.

Kuayunkan tanganku menggapai daun pintu dan membukanya dengan perlahan. Dadaku berdesir saat melihat Mom duduk dengan wajah pucat. Selang oksigen masih terpasang dihidungnya, jarum infus juga masih tertempel di pembuluh darah di punggung tangan kirinya.

Rambutnya yang mulai beruban itu sudah rapi. Senyumnya terkembang memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Mata Mom yang menyipit karena tertawa itu melebar saat menyadari kehadiranku.

FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang