Izann menatap kepergian Sivan dengan wajah lain, Ia sembunyikan pada Chilla atau siapapun bagaimana terluka hatinya menerima sikap dingin Sivan. Ia mengajak Chilla mengobrol sampai istirahat berakhir, kembali ke dalam kelas sudah banyak temannya yang sudah duduk di bangku. Izann duduk kemudian meneguk botol minumnya.
"Sekarang kamu mainnya sama adek kelas, Zan?" tawa teman sebangkunya.
"Enggak juga, 'kan juga main bola sama temen sekelas."
"Iya, tapi aku perhatiin kamu tuh perhatian sama siapa tuh adek kelas yang imut itu, sering malahan."
Izann hanya tersenyum, obrolan mereka terhenti karena guru sudah masuk untuk memberikan pelajaran terakhir hari ini. Di bangku lain, Zena mendengarkan obrolan Izann dan teman lainnya hanya tersenyum tipis, tahu benar siapa adik kelas yang dimaksud mereka berdua. Erchilla, murid kelas satu A yang langsung menarik perhatian Izann karena keluguan dan imut wajahnya.
Murid-murid SD batari kelas satu selesai istirahat panjang langsung bisa meninggalkan kelas karena sudah berakhir jam pelajarannya. Erchilla masih menunggu jemputan sama seperti hari sebelumnya, duduk di bangku marmer di tepi halaman. Matanya melihat Dean yang duduk di bangku sebelah pun mendekatinya.
"Dean belum dijemput? Chilla juga."
"Udah tahu pake tanya segala."
Chilla merogoh tasnya, mengeluarkan bungkusan kecil berisi biskuit berlapis cokelat dan diberikannya pada Dean. "Dean mau enggak? Ini cokelatnya tebel banget."
"Enggak mau."
"Atau mau permen kenyal ini?"
Dean melirik ke arah Chilla jengah, "Aku enggak mau apa-apa."
"Chilla!" seru seorang wanita tua namun berpakaian modis memanggil Chilla.
"Nenek!" seru Chilla. "Nenekku udah jemput, daaah sampai jumpa, Dean!"
Dean yang dipamiti hanya diam abai, tapi saat Chilla menjauh dan hampir masuk ke dalam mobil, Dean menoleh. Sivan yang sedari tadi melihat keduanya di belakang hanya tersenyum, kemudian Ia duduk menggantikan Chilla. Dean menoleh, tapi tanpa reaksi apapun karena suasana hatinya masih buruk.
"Kamu mau?" tawar Sivan memberikan biskuit lapis cokelat yang sudah terbuka.
Dean menoleh dan menerima biskuit itu, Sivan tersenyum dan bangkit. "Nanti berterimakasihlah sama Chilla, itu dari Chilla."
Sivan berlalu sambil melambaikan tangannya pada pria yang menjemputnya pulang sekolah, sementara Dean masih duduk di bangku taman hanya melongo menatap teman barunya itu. Sivan masuk ke dalam mobil, menyapa papanya dan memberitahu jika teman-teman barunya baik semua dan mau berteman dengannya. Luca-papa Sivan senang jika puteranya betah sekolah di SD Batari.
Papanya berkata jika tak bisa menemani Sivan di rumah, karena harus kembali ke kantor dan Pak Wagu yang akan memberikan semua kebutuhannya di rumah. Sivan mengangguk, Luca senang mempunyai dua anak yang melengkapi hidupnya meski sedikit aneh tanpa hadirnya seorang isteri.
Sivan diantar sampai ke apartemen, tapi ditolaknya untuk diantar karena bisa sendiri, hanya tinggal menekan tombol lift sampai ke rumah. Luca tersenyum dan memeluk Sivan, betapa anak lelakinya itu begitu mandiri daripada Luisa.
"Pa, Sivan boleh enggak nanti main keluar, diantar Pak Wagu juga boleh."
"Boleh, asal sama Pak Wagu atau Kak Luisa, oke?"
"Iya, Papa. Papa hati-hati." Sivan memeluk papanya.
"Iya, Sivan sayang."
Luca meninggalkan Sivan di depan lift, menoleh sekali untuk memastikan Sivan baik-baik saja, puteranya itu melambai dan masuk ke dalam lift. Pak Wagu tengah membersihkan karpet menggunakan vacum cleaner ketika Sivan datang, tak mau mengganggu pekerjaan Pak Wagu saat ini, pun masuk ke dalam kamar. Kamar pertama kosong, tentu saja karena kakaknya belum pulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whiffler [END]
Romance21+ | Update Sebisanya | Terhubung dengan Equanimous #3 "If distance is what I have to overcome to be with you, then give me a map. I am going to find you." Erchilla hanyalah gadis kecil yang berpikir sederhana, polos dna ceria. Tetapi, di balik kec...