Hutang Hati | 23

7.4K 756 75
                                    

Matahari telah tenggelam perlahan, meski di langit dan awan yang nun jauh di atas sana masih terlihat kemerah-merahan. Alanza menghela napasnya untuk kesekian kali dan tak mengalihkan pandangannya dari jendela kamar. Suster tua yang memakai kerudung warna hitam masuk, tersenyum dan meminta ijin untuk menutup tirai jendela, tapi Alanza menolaknya, Ia masih mau menatap langit meski hanya bintang yang menerangi malam.

Suster itu menaruh nampan jatah makan malamnya, ahli gizi datang sore ini, bicara dengannya perihal makanan yang akan diterima Alanza setelah sadar, masih berupa bubur halus agar lambungnya tidak kaget tiba-tiba diberi makanan padat. Jika malam ini tak ada masalah dengan lambung, besok pagi baru dirubah dengan nasi tim. Alanza menoleh pada makan malamnya, Ia sesungguhnya tak suka bubur halus, apalagi jika diberi gula merah, itu manis sekali bukan?

Alanza mengambil piring lebar di atas nampan, "Aku mau pulang dan temui Alfian. Aku harus sembuh."

Alanza membuka lapisan plastik di piringnya, menuang sedikit gula merah di atas bubur halusnya dan memakannya sedikit demi sedikit. Ia mengalihkan perhatiannya dari rasa hambar dan manis berlebihan dari gula merah dengan melihat lampu-lampu kota yang telah menyala. Suara ketukan di pintu kamarnya terdengar, suster yang menjaganya masuk membawa baju yang dikenakannya saat datang ke rumah sakit. Suster itu juga memberikan sebuah tas, isinya semua identitas Alanza selama ini. Ia membuka tasnya, ada dompet, cas ponsel dan tisu dalam bungkus kecil.

Alanza tertarik memeriksa barangnya, isi dompetnya masih utuh bahkan sampai struk pembelian ayam gorengnya ada di sana. Kemudian menyalakan ponselnya, tapi mati karena baterainya kosong, maka Ia mengecasnya dan melanjutkan makan. Alanza tiba-tiba merasa ingin meminum air kelapa yang segar, tapi tentunya kantin rumah sakit tak menyediakan kelapa sungguhan. Maka, Alanza menuruni brankar dan meminta ijin untuk pergi ke kantin rumah sakit.

Alanza mulanya percaya diri dengan tak bertanya pada suster atau perawat di mana letak kantin rumah sakit, dan setelah lelah tersesat barulah Ia bertanya. Alanza ternyata hanya perlu keluar dari lorong dan berbelok ke kanan, bertemu ruangan besar ada dua pintu lift atau tangga di sisi barat. Alanza memilih menuruni tangga, melatih kakinya apakah benar sudah seperti orang sehat ataukah perlu pemeriksaan lebih lanjut. Ia menuruni tangga dengan pelan, tapi ada dua anak lelaki berkejaran dan menyenggol tubuhnya hingga oleng.

"Perhatikan jalanmu." Seseorang menangkap tubuh Alanza dengan sigap.

Alanza menatap pria itu, begitu dekat dan sempat memuja kerupawaan wajahnya. Tapi, Alanza tak mau telena dan berdiri dengan tegap di atas anak tangga.

"Terima kasih, dokter Silas."

"Sama-sama."

"Dokter, e, saya mau bertanya, bisakah?" tanya Alanza.

"Bisa. Jam kerja saya berakhir, tapi sambil menunggu isteri saya, mari duduk di kantin." Silas mengajak Alanza menuju kantin dan diiyakan oleh Alanza yang memang hendak ke sana.

Alanza memilih minuman yang-katanya-mengangdung air kelapa asli, sambil mengambil sebungkus roti isi kacang. Ia duduk di depan Silas yang menunggunya selesai.

"Bertanya soal apa?"

"Soal keanehan diriku, soal biaya rumah sakit selama aku koma juga."

Silas membuka kaleng minuman isotonik berwarna biru, "Keanehan apa?"

"Saya bisa berjalan seperti tidak pernah koma, atau ditabrak mobil." Alanza bercerita sambil memajukan wajahnya.

"Itu bisa saja terjadi, bisa karena sugesti diri sendiri yang begitu kuat, mempengaruhi saraf motorik."

"Bisa seperti itu?"

"Bisa."

"Akal-akalan dokter hebat ya." Alanza menatap Silas tak percaya dan mengulum bibirnya.

Whiffler [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang