Simba | 10

11.9K 772 117
                                    

Pintu ruangan nomer sebelas tergeser ke samping, seorang suster menoleh ke belakang. Suster itu menanyakan apa keperluannya, lelaki berkemeja biru dongker menjawab jika Ia adalah teman dekat pasien koma di atas brankar. Suster membiarkannya bersama pasien, sementara dirinya pergi memeriksa kamar pasien lain. Lelaki itu masih berdiri di tempat, perlahan mendekati brankar dan tersenyum tipis.

Silir angin yang masuk perlahan dari jendela menggantikan udara di dalam, kicauan burung yang lewat menambah alunan pagi, namun tetap saja mesin-mesin itu tetap terdengar. Lelaki itu mengelus wajah pasien, gadis cantik berambut hitam yang memakai anting di hidungnya, namun tak terlihat lagi, mungkin sudah dilepas suster.

"Hei, kapan kau bangun? Dunia telah dan terus berubah, Alanza." Lelaki itu membisikkan kata-kata di telinga Alanza.

Raga Alanza tak bereaksi, hanya napas dan denyut nadi bisa dilihat dari alat pendeteksi jantung. Lelaki itu berdiri tegap kembali, menatap perih pada raga gadis cantik di atas brankar. Deheman di belakangnya terdengar, tapi ketika menoleh Ia tak melihat apapun selaim ruangan kosong di belakangnya.

"Kau bisa mendengarku, Daryn?" tanya pria yang berjas hitam melipat tangannya di dada.

"Bisa, tapi tak bisa melihatmu," kata Daryn.

Sarchie mengerutkan keningnya, "aku tidak tahu soal ini, kurasa Asyraf hanya manusia biasa tanpa kelebihan."

"Enggak tahu, ketika aku menggunakan raga ini, aku bisa mendengar suara mama Melvin di koridor belakang, bisa mendengar suara-suara roh lain seperti sebelumnya."

"Kau sudah tahu konsekuensi soal ini? Jika mereka berdua tidak menjelaskan, akan kujelaskan dengan teliti. Termasuk soal seseorang yang kemungkinan besar sedikit mengganggu," kata pria berjas hitam di sisi ruangan.

"Konsekuensinya sudah kuketahui, soal lain aku juga tahu."

"Dia ada karena memang keseimbangan dunia haruslah ada. Tidak selalu tentang sisi baik, sisi buruk juga harus ada mengimbanginya." Sarchie menjelaskan sedikit.

"Apa Deven yang memegang namaku?"

Sarchie melangkah mendekat, tapi tak mendekati Daryn, melainkan duduk di kursi dan melipat satu kakinya, seolah mempunyai rasa lelah. Daryn hanya mendengar suara ketukan sepatu Sarchie berhenti di sebelah kirinya.

"Aku tidak memegang namamu, kemungkinan besar ada padanya. Tapi, kurasa bukan dalam waktu dekat ini, untuk berjaga pastikan kaurawat raga itu dengan baik."

Daryn tersenyum mengangkat tangannya, tangan itu nyata bisa digerakkan dan nyata, bukan lagi berpendar seperti serbuk biru yang melayang ditiup angin atau ada di dalam jeli. Sarchie mendongak, melihat lelaki yang hanyalah roh tanpa kepastian, kini sudah pasti dan nyata.

"Papa pasti senang bisa melihatku hidup lagi, tapi tetap saja papa tak bisa kulihat," lirih Daryn tersenyum perih tak menghadap Sarchie.

"Aku masih ada pekerjaan." Sarchie pamit pergi pada Daryn.

Daryn tak mendengar lagi suara Sarchie ataupun ketukan sepatu dari sosok malaikat maut itu. Ia berjalan keluar dari ruangan, tersenyum pada perawat yang tadi ada di ruangan Alanza tengah bicara dengan salah satu kembarannya, Silas. Silas menoleh ke arah Daryn, saudara kembarnya yang sudah memiliki raga, ia selayaknya manusia yang kembali sadar dari koma, perlu beberapa minggu lamanya untuk bisa berjalan seperti ini. Tapi, Daryn berbeda, raga Asyraf bisa berjalan seperti tidak pernah koma selama beberapa bulan lamanya.

Silas mengangguk memberinya kode untuk menunggunya selesai bicara dengan suster, kemudian mendekatinya sambil menatap ke arah lantai bawah dari sisi pagar. Silas mendekat beberapa lamanya, memberinya air mineral kemasan botol.

Whiffler [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang